Sabtu, 12 April 2008

DARI REDAKSI

Ashadi Siregar dalam artikelnya, kebebasan berpendapat dan kebebasan pers (1996), menulis pers sebagai institusi berwajah ganda. Produk informasi yang dihasilkannya tidak dapat dilihat hanya sebagai produk politik atau budaya, sebab sudah menjadi komoditas dalam pasar global.

Sebagai institusi politik, informasi pers dinilai dalam ukuran normatif secara politis. Disinilah, bisa diperbincangkan idealisme pers. Sementara, sebagai institusi ekonomi, pers dapat menjalankan fungsi dan peran sepenuhnya menggunakan norma ekonomi. Dengan formula industri yaitu informasi sebagai produk yang dipasarkan sesuai kecenderungan sosiografis dan psikografis konsumen. Inilah ruang perbincangan komersialisme pers.

Bagaimana dengan persma?
Apabila menilik sejarah keberadaannya Persma memang lahir oleh dan untuk idealisme tertentu. Tengok saja catatan perjalanannya sejak pra kemerdekaan sampai masa orde baru. Kisah heroik intelektual sipil angkatan pertama, seperti Suwardhy Suryaningrat, Tjiptomangunkoesoemo dan Soekarno dalam menjadikan pers sebagai media penyebaran ide-ide kemerdekaan dan kebangsaan.

Kemudian perlawanan angkatan 66 melalui media-media seperti, Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, Mimbar Demokrasi dan Gelora Mahasiswa Indonesia dalam memaparkan kebobrokan sistem politik Demokrasi Terpimpin. Sampai bangkitnya era perjuangan kritis melawan kelaliman Orde Baru yang telah dirintis sejak tahun 70-an dengan lahirnya Salemba (universitas Indonesia), Gelora Mahasiswa (Universitas Gadjah Mada) dan Kampus (Institut Teknologi Bandung) hingga mencapai puncaknya di tahun 90-an ini.

Mengamati pola historis persma tersebut, tampak bahwa nuansa “perjuangan” mewarnai dinamika gerak di setiap zamannya. Sehingga, seperti yang dikatakan Sjahrir (1987:3) di setiap pundak pegiat persma ada beban “kesejarahan” dari tradisi angkatan muda sebelumnya yang menjadi pelopor perubahan, baik yang berhasil maupun yang kurang berhasil. Kisah masa lalu itu sudah menjadi ritus yang sah.

Intelektualitas mahasiswa dan identitasnya yang khas yang dibangun dari peran-peran mahasiswa di masa lalu itu, mendorong generasi-generasi selanjutnya untuk mengasah kesadaran subyektif yang kuat agar selalu kritis menilai keadaan masyarakatnya.

Dalam kondisi psikologis yang seperti inilah kemudian terumus idealisme persma sebagai ruang gerak mahasiswa yang berusaha untuk–bukan saja--merefleksikan realitas yang ada di lingkungan mahasiswa tetapi juga yang ada dalam masyarakatnya, yang berusaha ikut mempelopori terbentuknya sikap akademis yang bercirikan terbuka, kritis, ”obyektif” dan etis, hingga akhirnya terbangun figur-figur mahasiswa yang memiliki bekal tentang orientasi kemasyarakatan.

Dari paparan diatas, tersirat bahwa media kemudian lebih merupakan alat bagi para aktivis persma dalam mewujudkan idealismenya daripada sebagai tujuan. Implikasi jurnalistik dari idealisme semacam ini adalah lahirnya sebutan Pers Alternatif bagi persma. Pemaknaan pers alternatif disini tidak terbatas soal pengangkatan tema saja, tetapi lebih luas merujuk kepada cara penilaian berita, pengupasan dan penyajiannya.

Mengutip tulisan Wahyuana (redaktur Majalah Tajuk), Pers alternatif/wartawan alternatif adalah yang paling tahu tentang peristiwa dan momentum yang laik mendapat perhatian dan refleksi khalayak pembaca. Jika wartawan pers umum lebih banyak menempatkan berita /realitas sosial politik sebagai komoditi, wartawan pers alternatif menempatkan berita/realitas sebagai keprihatinan. Seorang wartawan pers alternatif dituntut tidak hanya memberitakan, pada posisi tertentu, juga dituntut untuk terlibat langsung dalam satu pemecahan masalah.

Satu catatan penting pasca 1998 adalah reorientasi pers mahasiswa ke dalam bentuk community paper. Sebelum 1998, pers mahasiswa memang bisa dikatakan tercerabut dari akarnya, yaitu dunia kampus. Mereka asyik-masuk dengan isu-isu dan gagasan besar tingkat nasional. Kampus hanya sekadar menjadi tempat berdomisili, dan bukan inspirasi.

Terbukanya wilayah sensitif bagi pers umum membuat beberapa pers mahasiswa kembali menengok komunitasnya. Pun demikian halnya dengan UAPM-INOVASI. Hanya saja kami masih memiliki kepedulain terhadap isu-isu yang berkembang pada masyrakat. Dan tidak pernah lupa untuk membahas permasalahan-permasalahan kampus yang semakin hari semakin kompleks. Semuanya tertuang pada majalah INOVASI edisi XXIV.

Laporan utama, mengangkat masalah patologi sosial. Pada umumnya memperdebatkan masalah pelacuran yang selalu ramai diperkarakan. Pelacuran adalah persoaalan yang begitu kompleks, seiring kemajuan masyarakat kita yang semakin jauh berkembang di berbagai bidang. Baik kota maupun desa. Zaman praktik seksual menurut defenisi Foucault, sudah dikebiri oleh kenyataan-kenyataan baru masyrakat. Sebuah wacana perlawanan selalu dapat memanfaatkan peluang untuk berkembang di negara kita, bahkan dimananpun.

Mungkin tidak lama lagi akan muncul generasi baru yang mulai mampu meluruhkan batas yang selalu dipandang ekstrem antara kebaikan dan keburukan. Nilai-nilai itu semakin tidak bisa dibaca secara hitam-putih, bukan? Seks, mungkin disuatu hari nanti bisa menjadi energi pemberontakan bagi segala kepengapan yang mengitari kehidupan kita sehari-hari.

Laporan Khusus mengakat tema kepesantrenan sebagai pendidikan alternatif. Mengapa demikian? Sebab sebagai sebuah lembaga pendidikan pesantren mempunyai tanggung jawab terhadap perkembangan masyrakat. Namun, tidak serta merta pesantren dianggap mampu untuk menjawab permaslah dari perkembangan masyarakat. Diperlukan adanya pembenahan baik dari sistem atau metode-metode pengajarannya, guna menghadapi tantangan arus globalisasi yang hampir menjadi “aqidah” masyarakat modern.

Tidak ketinggalan, kami juga menyuguhkan Liputan Budaya Tengger dan kearifaanya. Sebagai masyarakat adat, Tengger mempunyai kearifan budaya dan ritual kepercayaan yang variatif, mulai dari lingkaran kehidupan; perkawinan, kelahiran dan kematian semisal ritual kekerik dan entas-entas, masyarakat Tengger juga merayakan ritualistik yang komunalistik seperti perayaan unan-unan, pujan karo, pujan kasada dll. Hal ini yang menandai ke-Tengger-an tidak hanya berdomisili, namun kapasitas individu dan kelompok menjalankan tradisi yang diyakini sebagai warisan leluhur, yang memberi mereka pengayoman dan kesejahteraan hidup di lereng pegunungan tersebut.

Rubrik Teropong Malang, sebuah rubrik yang mengangkat permasalahan-permasalahan yang terjadi di Kota Malang, pada edisi ini memaparkan bagaimana petani jagung sangat dirugikan oleh perusahaan yang hanya mencari keuntungan berlipat ganda ditanah mereka. Bahkan seorang petani meringkuk dalam penjara.

Teropong Kampus membahas masalah molornya pembangunan dan berlakunya jam malam sangat menghambat aktivitas mahasiswa. Khususnya, Organisai Mahasiswa Intra Kampus. Selain lima rubrik yang telah digambarkan sedikit di atas tentu saja masih ada rubrik-rubrik lainnya yang tak kalah menraik untuk dibaca.

Namun kami sadar masih banyak kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu kami mohon dengan hormat kritik dan saran pembaca. Selamat membaca