Rabu, 10 Desember 2008

“Ke-Tengger-an” Kesadaran Normatif dan ke-Aku-an Agama

Oleh: M. Miftah Wahyudi

Wong Tengger, begitulah masyarakat luar menyebut identitas sekelompok komunitas adat yang bertempat tinggal dan terbagi atas dua wilayah besar; Tengger gunung Bromo dan Tengger gunung Semeru. Letaknya di dataran tinggi mengharuskan mereka setiap saat berselimut sarung layaknya umat Muslim umumnya. Lebih pada potretnya yang dinamis, ada kearifan yang lama mengakar dalam jati diri psikologis, sosial, dan budaya masyarakat setempat sebagai nilai ke-Tengger-an

Walaupun terlihat jauh dari jangkauan kekuasaan tangan manusia, hampir dipastikan, setiap saat dan pada bulan-bulan tertentu Tengger menerima para tamunya untuk bersinggah dan menikmati keramahannya. Wisatawan domestik maupun mancanegara membanjiri dan membuktikan keramahan dan kesejukan panorama Tengger. Kepulan asap belerang kawah Bromo selamanya bak berbicara atas kedigdayaan alam, hamparan laut pasir, semburan abu gunung Semeru dan pucuk-pucuk hijau tanaman penduduk menambahi keceriahan dan keindahan wilayah Tengger.

Suasana alam yang belum bisa dimiliki oleh lekuk geografis daerah manapun. Tidak hanya panorama alamnya, lebih-lebih, hasil konservasi budaya yang dilakukan pemerintah setempat, di mana kekuasaan wilayah Tengger yang terbagi atas beberapa kabupaten; Malang, Lumajang, Pasuruan dan Probolinggo dimanfaatkan sebagai ikon komersialisasi agrobisnis pariwisata. Mensejajarkan Tengger dengan daerah pariwisata seperti Yogyakarta, Solo, Bali, Banyuwangi dan lain sebagainya. Entah ironi kehidupankah, di tengah maraknya transformasi dan reformasi struktural maupun kultural sosial-budaya kemasyarakatan, ataukah kompensasi pasar itu sendiri yang menguntungkan?

Melacak Anggitan Kearifan Tengger.

Sebagai masyarakat adat, Tengger mempunyai kearifan budaya dan ritual kepercayaan yang variatif, mulai dari lingkaran kehidupan; perkawinan, kelahiran dan kematian semisal ritual kekerik dan entas-entas, masyarakat Tengger juga merayakan ritualistik yang komunalistik seperti perayaan unan-unan, pujan karo, pujan kasada dll. Hal ini yang menandai ke-Tengger-an tidak hanya berdomisili, namun kapasitas individu dan kelompok menjalankan tradisi yang diyakini sebagai warisan leluhur, yang memberi mereka pengayoman dan kesejahteraan hidup di lereng pegunungan tersebut.

Wong Tengger menyadari, bahwa pelaksanaan ritualistik yang sudah beratus-ratus tahun diwariskan oleh para leluhur tidak akan menggersangkan tatanan kehidupan mereka. Dari kesadaran melaksanakan ritual inilah wong Tengger membangun identitas kultural mereka sebagai jati diri ke-Tengger-an. Pada posisi yang sama, ritualistik yang dilakukan wong Tengger diyakini sebagai agama leluhur yang terpelihara serta memiliki keaslian trah Jawa. Senada dengan keyakinan agama tersebut, Robert W. Hefner menilai bahwa beragam kultur dan keaslian kepercayaan agama Jawa, seperti kepercayaan agama suku Osing di Banyuwangi, misalnya, teregresi oleh struktur agama yang baru datang, baik secara politis maupun akomodatif.

Namun, dari apa yang ia peroleh di penelitiannya, Tengger masih memiliki keaslian kepercayaan itu. Kesadaran suku Tengger yang mempercayai adat sebagai bagian dari keyakinan beragama, terdapat pelbagai macam tata cara dan tata krama yang harus dipegang dalam pelaksanaan ritual. Tujuan dari pemujaan adalah penghormatan kepada leluhur yang telah memberikan berkah pengayoman hidup, alam yang memberikan tanah kesuburan dan penghidupan, dan terakhir tuhan yang menciptakan segala keadaan dan keanugrahan. Nilai yang terkandung di dalam unsur ritual senyatanya menjadi pedoman kesalehan sosial dan penghayatan atas kelestarian alam.

Tidak jauh beda dengan kepercayaan lainnya, dimensi vertikal-kotemplatif pada realitas metafisik dan horisontal-komunalistik yang menghormati hubungan secipta, sejenis dan sesama. Bagi masyarakat Tengger, nilai kehidupan terkandung seluruhnya dalam ritual mulai dari pernak-pernik prasyarat pelaksanaan seperti makanan, sesajen, instrumen alat musik berupa gamelan dan mantra yang dibacakan Dukun.

Rangkaian itu semua, layaknya penafsiran alur perjalanan titah kehidupan yang mesti mereka amalkan dalam kehidupan sehari-hari, membentuk kesalehan sosial dan membias pada sisi alam. Kelestarian alam merupakan sisi terkaya nan bermakna. Bagi masyarakat Tengger, metamorfosis alam senyatanya menjadi pertanda dan penanda dari pola perilaku yang mereka lakukan setiap hari, bulan dan tahunnya. Berubahnya alam adalah kebalikan dari apa yang telah mereka lakukan. Alam menempati posisi ayat kedua, menghubungkan masyarakat Tengger dengan segala anugrah yang terberi dari sang pencipta.

Di samping elemen di atas, di seluruh kawasan Tengger yang terbagi atas dua wilayah; Tengger Bromo dan Tengger Semeru, masing-masing wilayah didiami dan dipimpin oleh seorang dukun yang mengatur jalannya prosesi upacara adat. Tidak serupa dengan identitas dukun yang berada di luar kawasan Tengger, yang mengiblatkan dukun sebagai tokoh kunci spiritual.

Dukun Tengger lebih pada hal-hal agama dan kepercayaan. Dukun tidak dipilih atas nama rakyat atau komunitas adat, melainkan kewahyuan dari sebuah kitab yang berisi mantra-mantra, pamujaan yang diwariskan secara turun temurun oleh para pendahulunya. Etika seorang dukun Tengger haruslah hapal di luar kepala semua mantra-mantra tersebut. Pergantian dukun biasanya dilakukan bersamaan upacara kasada. Sebagaimana kedudukan Nabi dalam Islam, dukun berperan penting dan bertanggung jawab atas stabilitas aturan perundang-undangan adat. Kekacauan sosial dan ancaman bencana berada di pundak dukun-dukun Tengger.

Tanah Sebagai Representasi Tangan Tuhan.

Semasa agama Hindu sudah masuk di wilayah Nusantara, tanah Tengger sudah disebut sabagai tanah hila-hila, yaitu tanah suci. Representasi tanah suci ini dideskripsikan oleh Nensy sebagai tanah penghapusan kesalahan-kesalahan perilaku manusia, tanah yang dijelaskan adalah segara pasir yang berada disekitar kawah gunung Bromo. Saat melaksanakan upacara kasada pada bulan keduabelas dari perhitungan kalender Tengger, masyarakat suku Tengger berkumpul di segara pasir.

Dengan dipelantarai dukun-dukun sebagai mediator penghubung dunia supranatural, roh-roh leluhur diundang untuk mempersaksian ritual kasada yang sedang mereka laksanakan. Upacara kasada sendiri memiliki beberapa fersi cerita, di antaranya menjelaskan bahwa kasada adalah upacara pengorbanan, didasarkan pada ihwal pengorbanan dewi Mutrim atas janjinya jika mempunyai anak tanpa pelantara pernikahan, anaknya akan dilabuhkan ke dalam kawah gunung Bromo. Maka anaknya yang bernama pangeran Kusuma, anak terakhir dari 25 anaknya, diminta sebagai bukti janji.

Permintaan inipun disetujui oleh pangeran Kusuma, namun, ada beberapa syarat dari kerelaannya untuk dikorbankan, yaitu ketika malam purnama di bulan kasada semua anak turun yang bertempat tinggal di Tengger, harus memberikan upeti berupa hasil bumi sebagai imbal jasa atas misi pengorbanan tersebut. Dan sampai sekarang, upacara kasada ini dilakukan setiap tahunnya sesuai dengan prasyarat yang diminta raden Kusuma. Dari pertalian cerita atau mitos ini, masyarakat Tengger tidak berani untuk melanggar aturan tersebut.

Kejadian kondisional yang berwujud perubahan alam menjadi salah satu bukti pengabdian mereka. Jika alam tidak lagi bersahabat dengan masyarakat Tengger, berarti masyarakat sudah melanggar dan meninggalkan aturan yang sudah ditetapkan. Oleh sebab itu, penghormatan pada tanah yang dipijak dilakukan setiap melaksanakan ritual adat. Alat persembahan bisa berupa tamping (takaran kecil dari daun pisang berisi ketan atau beras dan isi lainnya) diletakkan di pertigaan atau perempatan jalan, ladang dan dapur rumah. Perjalanan cerita atau mitos di atas, selamanya dilakukan sebagai kesadaran. Penandaan-penandaan yang tertera dalam alur cerita, membangun spirit hidup dan pengabdian yang mendalam, karena permitosan tidak ada hentinya dan tiada ide kecuali dalam suatu hal, tutur William Carlos W. (2001;119).

Pada masyarakat Tengger, misalnya, simbolisme yang dibawa dalam ide cerita, hadir sebagai unsur psikologis yang membentuk sekian konflik dalam struktur masyarakat. Dimana aspek konseptual (petanda) dari ide, tidak akan bisa difahami oleh komunitas luar, hanya peragaan luar semata yang bisa dibangun dalam medan interpretatif akademis.

Menurut Ngatrulin salah satu dukun Tengger, ada empat unsur yang diayomi dan dikultuskan masyarakat Tengger. Di antaranya; bopo kuoso sebagai wujud transendensi penciptaan, ibu bumi yang memberi keanugrahan, pedayangan sebagai pengayom dan penjaga kawasan Tengger dan sumber mata air. Keempat unsur ini selamanya diugemi dan diberikan sesaji setiap pelaksanaan upacara adat.

Perambahan Modernisasi di Bumi Tengger.

Akses masyarakat pada tanah bagaikan urat nadi kehidupan masyarakat Tengger. Keterputusan ases tanah berarti memutus mata rantai penghidupan sekaligus kesadaran masyarakat Tengger. Walau letaknya yang dipuncak gunung tidak membatasi perubahan sosial politik kewarganegaraan. Di masa penjajahan Belanda, masyarakat Tengger merasakan susah-payah melawan penjajahan. Terseok-seok melakukan upacara kasada pernah dirasakan.

Secara diam-diam dibawah ancaman kematian akibat agresi tentara Belanda, upacara kasada tetap dilaksanakan. Jedah perang pun pernah terjadi, sebatas bukti negosiasi menghormati kasada. Melompat pada masa orde baru dengan pembangunannya, masyarakat Tengger juga terkena imbasnya. Proyek revolusi hijau (pertanian dan taman nasional) dan eksotikisasi kebudayaan, merambah dikomunitas adat Tengger.

Tanah yang mereka kerjakan dengan seadanya dan berasal dari properti lokal, berubah bentuk dan tata cara pengolahannya. Dari pengolahan yang bersifat tradisional berubah dengan sekian prabot penggenjotan mutu produksi. Pada akhirnya, hasil yang didapat tidak seimbang dengan modal yang dikeluarkan, parahnya, penyakit (hama) tanaman jadi tak terkendali. Kesadaran tentang adat yang ditopang dari hasil bumi, lambat laun berubah menjadi komuditas materialistik semata. Tendensi spiritual mistik yang diyakini masyarakat Tengger bermetamorfosis pada kebutuhan perekonomi an sich. Apalagi ada persyaratan pada upacara kasada, jika hasil bumi tidak menguntungkan mereka dibebaskan untuk tidak melaksanakan, tutur Ngatrulin. Tak hayal, keyakinan agama sebagai keTenggeran teregresi secara berlahan-lahan.

Ke-Tengger-an Berbicara atas Formalisasi Agama.

Untuk merepresi resistensi perubahan (cultural excange) yang dilakukan masyarakat Tengger, pemerintahan Orde Baru (Orba) menggunakan agama sebagai alat politik. Pada tahun sekitar 1970 an proyek formalisasi agama dilancarkan kesegenap penjuru, tidak boleh tidak lima agama formal; Islam, Hindu, Budha, Katolik dan Kristen menjadi identitas absolut kebenaran kepercayaan dan atau agama.

Karakter kerajawian yang masih melekat dalam kesadaran etnis Jawa, yang memusatkan transformasinya di kerajaan, ikut melambari desain perubahan sosial-keagamaan masyarakat pinggir, jelas Mark Woodword (1994), tidak terkecuali Tengger. Secara sederhana, agama formal merupakan center (pusat) yang dipegang pemerintah pusat, sedangkan kepercayaan lokal adalah periphery (pinggir). Oleh sebab itu, jika masyarakat Tengger ingin mendapatkan aksesnya, formalisasi agama ini harus dilakukan dan dipercayai sebagai obsolutisme kebenaran agama.

Begitulah hegemonik kultural yang dijadikan represi kekuatan lokal. Mengapa formalisasi agama bisa menjadi bukti represi atas gejolak resistensi masyarakat lokal? Karena keberadaan masyarakat lokal yang menjaga nilai lokalitas mereka (baca, agama lokal), menjadi batu sandungan kepentingan dan kebijakan yang diterapkan pemerintah pusat.

Kemudahannya lagi, setelah masyarakat meninggalkan aturan lokal mereka dan mengikuti aturan dari struktur pusat (center) yang dicangkokkan lewat agama formal. Politik steriilisasi orde baru ini, hampir semua komunitas adat merasakan. Tidak tinggal diam dengan kontestasi politik orde baru, masyarakat Tengger khususnya Tengger wilayah Ngadas Malang membangunan metanarasi pemaknaan.

Upacara karo yang diyakini pertarungan antara Setco dan Setuhu, dimana keduanya merupakan perwakilan Ajisaka dan Nabi Muhammad, dalam tragedi berdarah perebutan keris yang dipercayakan para mereka berdua. Singkat cerita, stelling historis menjelaskan bahwa Ajisaka ketika berguru ke Timur Tengah pada Nabi Muhammad meninggalkan sebuah keris yang nantinya diambil langsung tanpa perantara siapa pun.

Di ujung waktu, Ajisaka tidak kunjung datang entah lupa atau sibuk dengan kepentingan perang yang dilakukannya di tanah Jawa. Maka, Nabi Muhammad mengutus Setuhu dengan tugas memberikan keris tersebut langsung di tangann Ajisaka. Begitu pula sebaliknya, Ajisaka mengutus Setco mengambilnya dari tangan Nabi Muhammad dengan memberikan ciri-ciri khas keris tersebut.

Di tengah cerita, kedua utusan ini bertemu dan terjadilah perkelahian berujung kematian keduanya demi mempertahankan tugas yang diberikan. Lama ditunggu sang utusan tidak juga kembali, keduanya (Nabi Muhammad dan Ajisaka) pun menyadari kekeliruan masing-masing. Pergilah mereka berdua mencari keberadaan utusan-utusan mereka. Di tengah perjalanan, bertemulah mereka tepat di tempat kejadian perkelahian tersebut.

Melihat kedua utusan yang mati terkapar menjadi mayat, keduanya lantas sadar atas keteledoran dan kesalahan yang baru saja mereka lakukan bersama. Dengan bingung, mereka berdua lalu bersandar disebuah pohon untuk meratapi penyesalan. Di saat itulah, jatuh dua pelepah daun di hadapan mereka. Daun yang di bawa Nabi Muhammad bertuliskan abjad Arab, sedangkan yang diterima Ajisaka berabjad Jawa. Dari peristiwa itu dibuatlah kesepakatan, bahwa Nabi Muhammad dengan abjad Arab menyebarkan agamanya dan bertempat di Langgar (baca, Masjid), adapun Ajisaka yang memegang abjad Jawa menyebarkan agama dengan abjad itu pula dan bertempat di Sanggar.

Kebenaran cerita di atas tidaklah penting, menjadi penting apabila spirit cerita dan nuasa kesadaran nilai mengkontruksi kesadaran dilokalitas Tengger Ngadas tersebut. Metanarasi yang dibangun masyarakat Tengger Ngadas ini pun mereposisi ulang posisi center dan peripheri yang ditunjukkan Orba. Ide cerita mendudukkan porsi agama atau kepercayaan pada posisi seimbang. Tidak ada kebenaran melainkan keutuhan dari nilai lokal-lokal yang berbeda. Dengan demikian, hegemonik penguasa ternegasikan dalam posisi timbal balik pewacanaan nilai lokalitas atas makna. Setidaknya, begitulah mereka yang masih dalam ke-Tengger-an sebagai wong Tengger.

In Cold Blood : kisah Pergelutan antara Baik dan Jahat

Oleh: Roli Maulidiansyah

Holcomb terletak di dataran tinggi kansas barat, sebuah kawasan sepi yang disebut penduduk Kansas yang lain sebagai “nun jauh di sana”. Sekitar tujuh puluh mil di perbatasan Colorado, di pedesaan, dengan langit biru tua dan udara padang pasir yang cerah, beratmosfir lebih menyerupai Far West dari pada Middle West.

Aksen lokal dihiasi dengan sengau peternakan ala gurun pasir, dan para prianya, banyak diantara mereka yang memakai celana pendek berujung ketat, topi Stetson, dan sepatu bot berhak tinggi dengan ujung tajam...” (hal 2)Ditempat sepi itulah, Herbert William Clutter bersama istri dan kedua anaknya tinggal. Sedangkan kedua anaknya yang lain yaitu Eveanna, anak pertama. Tinggal di Illinois Timur bersama suaminya. Sedangkan Beverly, anak kedua, berada di Kansas City, belajar menjadi seorang perawat.

Herbert Clutter adalah petani kaya lulusan Universitas Kansas dan menjabat sebagai ketua Konfrensi Organisasi Pertanian Kansas. Selama pemerintahan Eisenhower ia menjadi anggota Dewan kredit Pertanian Federal. Kendati tidak semakmur Mr. Taylor Jones-orang terkaya di Holcomb. Namun ia adalah orang yang paling dikenal di Holcomb maupun Garden City, tempat ia mengepalai komite pembangunan First MethodisT Chruch, bangunan senilai delapan ratus ribu dolar. Pada suatu pagi yang sepi dan tenang, pertengahan November 1959.

Empat tembakan senapan merenggut nyawa Herbert Clutter; istrinya, Bonnie; dan kedua anaknya Nancy dan Kenyon. Tidak ada petunjuk apa pun yang ditinggalkan oleh pembunuh, bagaikan asap yang mengepul di udara yang kemudian hilang tanpa jejak. Sehingga pihak yang berwajib setempat sulit melacaknya.

Bagi masyarakat sekitar, kejadian ini tampak tidak masuk akal. Terutama karena Keluarga Clutter adalah tipe keluarga harmonis yang tidak memiliki musuh. Sekitar 6 minggu kemudian, pembunuhnya tertangkap di Las Vegas. Mereka adalah Perry Smith dan Dick Hickock, para residivis yang sedang dalam masa pembebasan bersyarat. Dikisahkan, Dick Hickock dan Perry Smith adalah dua orang yang masing-masing tidak berguna, namun akhirnya mereka bersama menjadi penjahat yang kejam. In Cold Blood yang diterjemahkan dari judul aslinya: In Cold Blood: A True Account of a Multiple Murder and Its Consequences, tak sekadar mengisahkan pembunuhan empat keluarga petani di Holcomb, Kansas.

Namun ada sentuhan-sentuhan emosional yang membuat kita digiring untuk tak segera meletakkan buku ini sebelum melahap halaman demi halaman. Ada pula “sengatan-sengatan” kecil yang membuat kita selalu terkejut. Sungguh sebuah kisah klasik yang ditulis dengan gaya luar biasa. Intrik, motivasi pembunuhan, alur cerita, dan gaya bahasa Capote akan mengikat kita terus-menerus. Bahkan meskipun tebalnya mencapai 476 halaman, kita akan menikmati untuk membacanya.

Novel In Cold Blood adalah kisah nyata, Non fiksi. Namun ketika membaca novel tersebut seakan-akan membaca novel fiksi. Semuanya mengalir dan penuh dengan detail. Baca misalnya pada halaman 149 “Mobil itu diparkir di sebuah semenanjung tempat Perry dan Dick singgah untuk berpiknik. Saat itu tengah hari. Dick memindai pemandangan melalui sepasang keker. Pegunungan. Elang-elang berputar-putar di langit yang putih. Sebuah jalanan berdebu menggelinding ke dalam dan ke luar desa yang putih berdebu….”

Gaya berceritanya sangat objektif serta berdasarkan observasi dan wawancara langsung, justru bisa membuat kita bersimpati kepada pihak-pihak yang terlibat. Ditambah lagi, Truman Capote menyajikan cerita ini dari berbagai sudut pandang, bahkan orang-orang lain yang tampak tidak memiliki hubungan dengan pembantaian tersebut. Dengan kata lain, dalam karya yang disebutnya sebagai novel non-fiksi ini, semua orang adalah Para Tokoh Utama.

Awal mulanya, peristiwa tersebut dimuat di The New York Times. Artikelnya pendek, lebih sebagai berita sekilas, jauh dari kesan bombastis, jauh dari tampilan judul-judul peristiwa kriminal yang biasa kita lihat Intinya, hari itu menurunkan berita kecil pembunuhan, ada yang mati. Capote membaca berita tersebut. Bagi Capote, inilah saatnya mengabadikan peristiwa pembunuhan itu. Dia ingin, seperti ucapannya, membikin sebuah karya baru, dalam bentuk novel-nonfiksi, memakai gaya sastra namun berdasarkan kejadian sesungguhnya dengan meliput kejadian tersebut. Inilah kelahiran In Cold Blood yang legendaris itu.

Sebuah karya monumental. Sebuah genre baru dalam jurnalisme. New Yorker mendanai proyek liputan Capote ini. Saat itu William Shawn adalah redaktur pelaksana New Yorker. Dia menggantikan posisi yang sebelumnya dipegang Harold W. Ross. Ross adalah orang yang pertama membidani kelahiran New Yorker. Dia meninggal 5 Desember 1951. Shawn menggantikan posisi Ross pada 21 Januari 1952. Capote adalah seorang kontributor New Yorker yang paling kreatif dalam sejarah panjang riwayat majalah tersebut. Capote kemudian menghubungi Harper Lee untuk membantu liputan tersebut. Di sinilah awal bagaimana Harper Lee menjadi asisten Capote untuk kelahiran In Cold Blood.

Namun In Cold Blood adalah karya yang panjang usianya dibanding umur si penulisnya. Ada perdebatan, kabar angin, pandangan baru, di samping kesuksesan yang mengikutinya. Ada juga tanggapan dari Harper Lee. Kita menemukan ini pada biografi Lee karya Shields. Shields mengulas fakta yang berkembang, suatu desas-desus, bahwa Lee marah ketika Capote membagi persembahan In Cold Blood pada Jack Dunphy, setelah kontribusinya yang cukup besar atas lahirnya buku tersebut. Lee pasangan kerja yang amat membantu Capote. Lee tak sekadar memerlancar jalan Capote mengetahui detail atmosfer suasana persidangan kasus pembunuhan itu, yang digelar di Pengadilan Finney County, Garden City, Kansas, dari 22 sampai 29 Maret 1960. Bagaimanapun Lee paham betul seluk-beluk peradilan meski dia tak sampai menamatkan studi hukumnya.

Capote memberi pujian pada Lee yang “amat membantu” dalam “menjalin hubungan dengan para istri dan orang-orang yang saya temui untuk liputan In Cold Blood”. Seratus lima puluh halaman catatan yang dikerjakan Lee dari Kansas diperlihatkan pada Capote. Lee mengatur wawancara liputan ini dan Capote sendiri meneliti langsung rumah korban keluarga petani tersebut. Lee berani menawarkan agar Capote mengambil sudut pandang yang lebih gelap terhadap keluarga Clutter, sebelum Capote memulai terjun sendiri ke lokasi liputan.

Lee meyakinkan Capote bahwa keluarga Clutter orang-orang yang sulit; Bonnie, ibu keluarga ini, “salah seorang wanita yang paling menyedihkan”, gugup, obat-obatan generik telah merusaknya, sudah tak memiliki perasaan lagi dengan suaminya saat di tempat tidur. Sementara kedua anak mereka, terutama Nancy Clutter, gadis remaja yang perfeksionis tapi juga memiliki kepribadian kaku dan tamak serta kesan yang tertutup.

Namun Capote, dalam penulisannya, lebih mengupas kehidupan dua pelaku pembunuhan tersebut. Membedah semacam misteri psikologis kedua pembunuh itu. Di sisi berlawanan, Capote tak banyak menjelaskan keluarga Clutter, lebih sebagai keluarga petani yang ideal dan sejahtera. Intinya, Capote menempatkan posisi In Cold Blood sebagai kisah pergelutan antara baik dan jahat, menjadikan peristiwa pembunuhan ini sebagai masalah yang sederhana. Dalam penulisannya, Capote lebih mengupas kehidupan dua pelaku pembunuhan tersebut. Membedah semacam misteri psikologis kedua pembunuh itu.

Di sisi berlawanan, Capote tak banyak menjelaskan keluarga Clutter, lebih sebagai keluarga petani yang ideal dan sejahtera. Intinya, Capote menempatkan posisi In Cold Blood sebagai kisah pergelutan antara baik dan jahat, menjadikan peristiwa pembunuhan ini sebagai masalah yang sederhana. In Cold Blood, dimuat di majalah The New Yorker, sebagai cerita bersambung. Novelnya diterbitkan pada tahun 1966, setahun setelah Perry dan Dick dihukum gantung. Novel yang ditulis oleh Truman Capote ini memberikan sumbangan besar bagi dunia jurnalisme.

Buruh Tani di Ladang Sendiri

Oleh: Lilik Miftakhul Khiroh

Terik mentari menyengat tubuh, kala seorang perempuan baya berjalan menapaki sawah. Ia tak terlihat kepanasan karena di kepalanya terpasang topi jerami. Dengan membawa seikat batang jagung di punggung dan sabit di tangannya, ia menuruni pematang sawah. Niatnya mau istirahat sebentar sambil menikmati makan siang di rumah.

Sawah itu, memang berada sekitar satu meter lebih tinggi dari badan jalan. Untuk menaikinya, ada sebuah lereng kecil yang menyamping ke kiri. Agak sempit dan sedikit curam. Namun perempuan itu telah terbiasa, karena tidak ada jalan lain menuju sawahya.

Dia adalah Juma’iyah. Dengan menurunkan seikat batang jagung di punggungnya, ia pun bercerita.

“Panen jagung musim ini agak rugi, tapi masih lumayan nggak kayak tahun sebelumnya waktu menanam bibit Pioneer” keluhnya kepada saya

Juma’iyah memang pernah menanam benih Pioneer. Namun hal ini dilakukannnya pada tahun 1987-2006. Mereka enggan untuk memanam benih jagung Pioneer lagi, karena merasa tidak diuntungkan dan terjadinya kasus penahanan seorang petani ke penjara, dikarenakan menyimpan benih jagung Pioneer yang ditanamnya.

“Saya tidak mau lagi menanam bibit jagung Pioneer, karena rugi. Jagungnya kecil-kecil. Saya juga takut kejadian pak Zaenal menantu pak Sa’i akan menimpa saya.” Tahun ini, ia menanam benih jagung lokal, sebagaimana petani lain di desa Sukoanyar.

Sa’i adalah salah satu petani kaya yang disegani di desa itu. Tubuhnya telah renta, giginya ompong dimakan usia, wajahnya keriput, dan kulitnya hitam karena setiap hari tersengat terik matahari. Walau usia telah lanjut, ia tak pernah lelah untuk mengurus dan mengolah sawahnya.

Siang itu, ia pergi ke sawah bersama istrinya. Tak berbeda dengan petani lain, ia membawa sabit di tangan. Istrinya pun membawa cangkul berukuran kecil. “Hanya ingin melihat tanaman jagung yang barusan tumbuh, mbak, dan mencabuti rumput yang tumbuh di sekitar jagung” ujar Sa’i sambil melepaskan topi bundarnya.

Di tahun 1980-an, dia menjadi ketua kelompok tani. Saat itu ia mempunyai staf, namanya In’am. Mereka berdua, bekerja sama mengurus organisasi kelompok tani di desanya. Menurut ceritanya, sekitar dua puluh tahun lalu, tepatnya tahun 1987, sebuah perusahaan benih jagung Hibrida masuk ke desa. Perusahaan itu bernama Pioneer. Perusahan meminta Sa’i membujuk petani agar mau bekerja sama.

Awal musim tanam jagung di tahun itu pun tiba. Sa’i beserta petani lain menanam benih jagung hibrida Pioneer. Hasil panen petani lumayan untung. Perusahaan juga mendapatkan apa yang diinginkan. Produktifitas benih jangung hibrida semakin meningkat.

Melihat kedua belah pihak saling diuntungkan. Kerja sama pun berlanjut. Hubungan antara perusahaan dan petani desa Sukoanyar juga terjalin di tahun 1988. Sama dengan tahun sebelumnya, kerja sama berjalan cukup mulus, hingga akhirnya di tahun awal musim tanam tahun 1989, perusahaan tidak menampakkan hidung belangnya. Perusahaan datang terlambat. Petani sudah terlanjur menanam benih jagung lokal.

Sebagaimana petani lain di desanya, Sa’i, mengolah sawahnya, memberi pupuk, menyemprot hama dengan pestisida, hingga mencabuti rumput yang mengganggu. Semua dilakukan dengan kerja keras dan biaya sendiri. Panen pun tiba, mereka menuai keuntungan yang berlimpah. Walau ada sebagian petani yang merasa hasil panennya sedikit rugi.

Sa’i di kenal sebagai petani yang ulet di desanya. Dia tak pernah pantang meyerah menggarap sawah. Walau terkadang ada petani lain yang sudah merasa lelah dan rugi menggarap sawah, namun ia masih bersemangat, hingga akhirnya ia berhasil dibandingkan dengan petani lain. Keuletan dan keberhasilannya lah, yang membuat Sa’i dipercaya oleh perusahaan Pioneer untuk mengajak petani agar mau bekerja sama lagi, menanam benih jagung hibrida Pioneer.
Tak beselang lama, perusahaan kembali datang.

“Pada tahun 1990 Pioneer datang, petani pun menanam benih jagung hibrida Pioneer lagi,” kenang Sa’i dengan sedikit tertawa.

Kerja sama berlanjut setiap tahun. Sebagaimana petani lain di desa itu, waktu musim tanam, Sa’i tak lagi menanam jagung lokal, tapi menanam benih jagung hibrida Pioneer. Dia bekerja keras tanpa mengeluh, walau hasil penennya harus diserahkan kepada pihak perusahaan tanpa sisa sedikitpun dan terkadang juga rugi.

Hingga akhirnya, di tahun 2004, Sa’i dan petani lain merasa kerja sama itu hanya menguntungkan pihak perusahaan.

“Benih jagung kecil-kecil, sehingga hasil panen sangat sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hasil itu tidak sebanding dengan kerja keras selama musim tanam. Perawatan harus lebih ekstra, biaya perawatan pun sangat besar sehingga kalau tidak benar-benar kerja keras, maka tidak akan mendapatkan apa-apa,” ujar Sa’i yang dibenarkan istrinya.

Dengan pengucapan yang tak lagi fasih, ia menambahkan “Kami harus mitani (membuang hama satu persatu), jika ingin hasil panen yang memuaskan.”
Hal senada juga dinyatakan oleh istri Zaenal. Ia harus rela merogoh sakunya untuk membeli pupuk dan pestisida tambahan.

“Pinjaman pupuk dan pestisida hanya bisa dipakai satu kali, itu pun untuk pemupukan awal. Yang kedua dan seterusnya saya harus beli sendiri,” ungkapnya.

Kerugian telah dirasakan oleh Sa’i dan petani lain di desa itu. Mereka tidak mendapatkan kuntungan dari hasil panennya. Walau kerja keras selama musim tanam telah dilakukan, biaya perawatan tanaman telah dikeluarkan, dan biaya pinjaman telah dilunasi, namun mereka hanya mendapatkan hasil panen berupa uang yang dipotong bunga pinjaman. Perusahaan tidak mau tahu kesulitan petani selama musim tanam. Perusahaan hanya menginginkan pinjaman modal dan bunganya dikembalikan serta hasil panen diserahkan tanpa sisa sedikitpun.

PT Pioneer Hibrida Indonesia adalah salah satu perusahaan yang memproduksi benih jagung hibrida di Indonesia. Namun sejak 1999, PT DuPont Indonesia telah mengakuisisi PT Pioneer Hibrida Indonesia dari Pioneer Hi-Bred International Inc (DuPont News Online).

Perusahaan itu tersebar luas di seluruh penjuru negeri, mulai dari sabang hingga merauke. Di Jawa Timur misalnya, Malang adalah sasaran empuk bagi Pioneer. Di Malang, perusahaan itu bertempat di kecamatan Gondanglegi. Perusahaan juga bekerja sama dengan petani dan melakukan pembenihan di sana, namun pembenihan kurang berhasil. Selain di Gondanglegi, perusahaan juga melakukan pembenihan di desa Sukoanyar. Di desa itu, perusahaan Pioneer berhasil meningkatkan produktifitas benih hibridanya.

Desa Sukoanyar terletak di sebelah selatan kota Malang. Tepatnya di antara desa Kidangbang dan desa Wajak , kecamatan Wajak. Desa seluas 439.2 Km2 (BPS, 2003), masih menyisakan lahan pertanian yang cukup luas. Belum ada bangunan mencakar langit atau pun pabrik. Yang terlihat hanyalah bangunan rumah, sebagai tempat tinggal warga. Kanan-kiri jalan raya masih terhampar sawah, meskipun beberapa rumah telah berjejer menyelinginya. Tanaman jagung, tebu dan polowijo tumbuh subur diatasnya. Di desa itu juga, terdapat gang-gang. Setiap gang terdapat bangunan rumah yang berhalaman luas. Di samping kanan kiri rumah masih menyisakan lading bercocok tanam.

Tanah desa Sukoanyar tergolong vulkanik. Sawah-sawahnya dialiri dengan irigasi. Dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya, Sukoanyar lebih subur dan cocok untuk lahan pertanian. Tak heran jika Pioneer datang ke desa tersebut.

Sejak tahun 1987, Pioneer bertengger di desa itu, menawarkan benihnya kepada petani agar ditanam. Namun, ketika tahun 2005, petani Sukoanyar tak mau lagi menerima kerugian. Mereka pun akhirnya tidak menanam benih jagung hibrida yang ditawarkan oleh perusahaan Pioneer.

Petani juga merasa perusahaan tidak pernah memberikan kontribusi apapun. Perusahaan hanya mengeruk keuntungan tanpa peduli dengan kesejahteraan petani. Bahkan perusahaan tidak mau peduli kesulitan dan kerugian yang di derita. Perusahaan tak mau tahu apakah kerugian berasal dari kesalahan petani atau tidak.

“Walau ada bencana sekalipun, Pioneer tidak mau tahu,” ungkap istri Zaenal.
Petani merasa, perusahaan sudah berubah. Tidak lagi seperti di tahun 1987. Perusahaan tak lagi memberikan penyuluhan lapangan. Mereka hanya akan datang saat panen tiba. Benih yang diberikan pun berubah menjadi kecil-kecil, sehingga hasil panen petani sedikit.

Pioneer tak mau kehilangan akal, ia berusaha agar petani mau bekerja sama lagi.
“Pioneer dapat masuk lagi ke desa Sukoanyar dengan janji memperbaiki sarana irigasi,” ungkap Sunu (Bendahara Kelompok Tani saat ini).

Tentu saja petani senang. Akhirnya di tahun 2006, Pioneer kembali bekerja sama dengan petani. Mereka menanam benih jagung hibrida lagi. Namun kerja sama itu tidak berlangsung lama. Di akhir tahun 2006, Pioneer hengkang dari desa Sukoanyar. Petani sudah dibuat kapok. Mereka tidak mau lagi berurusan dengan perusahaan itu. Hal ini dikarenakan Pioneer memenjarakan Zaenal, petani yang menyimpan benih jagung yang ditanamnya sendiri.

Ketika kelompok tani telah mengumpulkan petani, pegawai perusahaan pun memberikan penyuluhan mengenai bagaimana cara menanam benih jagung hibrida Pioneer. Yaitu dengan jarak antar benih sampai 65 x 16 cm dan dengan aturan 1-4-1 (tiap empat larik untuk betina dan diisi satu larik untuk jantan).


Pioneer juga menjelaskan larangan menyimpan hasil panen, walaupun hasil jerih payah petani sendiri. Petani tidak boleh mengambil hasil panen sedikit pun. Jika itu terjadi, maka penjara adalah sangsinya, sebagaimana kisah Zaenal.

Larangan lainnya adalah isolasi. Petani boleh menanam benih jagung hibrida di sawhnya, asalkan di lahan sekitarnya tidak ditanami benih jagung lain selain benih jagung hibrida Pioneer. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi isolasi. Jika isolasi terjadi, maka petani yang menanam benih jagung Pioneer tidak akan mendapatkan hasil panen yang maksimal. Bibit tersebut, akan mengalami persilangan, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan Pioeneer. Petani akan rugi, karena hasilnya tidak sebanding dengan hasil jerih payahnya selama musim tanam.

Sebagaimana yang tejadi pada Saikhu, petani dari Gondanglegi yang menanam jagung hibrida Pioneer. Selain itu, ia juga berusaha mempertemukan para petani dengan pihak perusahaan. Pada saat musim tanam, jagung hibrida Pioneer terisolasi dengan jagung lokal. Jagung yang ditanamnya pun mengalami persilangan dan akhirnya hasil panen tidak sesuai dengan yang diharapakan perusahaan. Meskipun dia dan petani lain telah bekerja keras, namun hasil panen yang dihargai dengan uang itu tak sebanding dengan jerih payahnya selama musim tanam. Saikhu pun tak diberi gaji selama ia bekerja untuk Perusahaan. Dia lah yang mngusahan agar petani mau menanam benih jagung hibrida Pioneer. Namun kerja keras salama satahun tidak diupah dengan semestinya.

“Saya rugi, hanya diberi 2500 dalam setahun,” keluhnya dengan sedikit kesal.
Ketentuan lainnya adalah pengadaan bunga sebanyak 4% setiap empat bulan dan penentuan harga. Ketentuan harga pupuk, obat pestisida yang dipinjami perusahaan, dan bunga hasil panen adalah hak pioneer. Perusahaan juga yang menentukan harga hasil panen. Harga itu tidak sama dengan harga pasar. Di tahun 2004 misalnya, setiap satu glondong jagung dihargai Rp. 1600. Meskpiun harga lebih tinggi dari harga pasar, namun besarnya harga tak sebanding dengan besarnya kerugian yang ditanggung dengan membayar pinjaman modal, besarnya bunga pinjaman, dan biaya perawatan tambahan lainnya.

“Saya pernah ko’, menanam dua petak sawah. Saat itu mendapatkan hasil panen tapi dipotong utang, bunga utang. Saya cuma mendapat balikan tiga ribu rupiah,”
Kesepakatan-kesepakatan di atas adalah sebagian dari isi surat kontrak kerja sama. Pembuat surat kontrak kerja sama adalah pihak perusahaan Pioneer. Petani hanya sebagai pendengar yang tidak mengerti arti surat kontrak kerja sama.

“Para petani saat itu hanya diam dan mengiyakan apa yang dikatakan Pioneer” ujar Jumaiyah.

Sama hal nya yang diungkap oleh istri Zaenal “Kontrak tertulis itu ada, namun saya tidak membaca secara langsung. Yang tahu ya ketua Kelompok Tani. Dia yang mewakili para petani melihat kontrak itu, begitu juga daftar hadirnya, dia yang mewakili tanda tangan.”

Para petani tidak menanyakan secara detail isi kontark perjanjiana itu, bahkan mereka tidak tahu bagaimana bentuk.nya. yang mengetahui hanya pihak birokrasi desa, dan ketua kemolok tani beserta stafnya dan tentu saja pihak perusahaan.
Ketika disingung soal surat kontrak kerja sama, Sunoto selaku Ketua kelompok tani mengatakan bahwa surat itu berada di tangan Sunu. Sunu adalah bendahara kelompk tani. Namun pernyataan Sunoto ditepis Sunu. “Saya hanya menangani arsip-arsip pembayaran. Yang mengerti surat itu pak Sunoto,” sangkalnya.

Terkait dengan itu, pihak perusahaan Pioneer tidak memberikan komentar apapun. “Kami masih menunggu jawaban dari kantor pusat Jakarta, jika ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu”, jawab Fajar selaku bagian administarsi perusahaan yang bertempat di Gondanglegi. Namun, ketika dihubungi kembali, ia pun memberikan tanggapan dan jawabn yang sama.




Buruh Tani di Ladang Sendiri

KEGUSARAN MARK DAVID CHAPMAN

Oleh: Roli Maulidiansyah
Mark David Chapman meminta Jhon Lennon menandatangani buku The Catcher In The Rye di pagi hari sebulum ia menembak mati bekas anggota The Beatles itu beberapa jam kemudian. Mengapa para pembunuh orang terkenal dalam sejarah, orang-orang yang dicirikan sebagai “the lone killer,” gemar membaca novel yang sempat di larang beredar di Amerika ini?

Senin sore 8 Desember 1980, Chapman hilir mudik di muka Dahkota, kali ini ia bersama dengan Paul Goresh; pemuja Lennon merangkap juru photo amatir asal north Arlington, New Jersey. Dalam percakapannya dengan Goresh, Chapman mengatakan, bahwa sudah 3 hari keluyuran disini, berharap dapat menjumpai Lennon dan minta tanda tangannya. Sekitar pukul 17.00 Lennon bersama isterinya keluar dari gedung itu dalam memenuhi jadawal rekaman di studio Record Plant. Chapman lalu mendekati Lennon sambil menyodorkan album baru “Double Fantasy”. Lennon menerimanya dan mencoretkan tanda tengann “John Lennon 1980” diatas sampul album itu sementara Goresh menjepretkan kameranya. Chapman nampak berseri-seri.
“John Lennon mendatangani album saya, tak seorangpun di Hawaii akan percaya pada saya.” katanya kepada Goresh setelah Lennon pergi.

Kedua pemuja Lennon tersebut masih berdiri di muka Dahkota untuk dua jam berikutnnya. Goresh akhirnya memutuskan pulang. Chapman berusaha mengubah niatnya : “Lennon akan segera kembali, anda bisa minta tanda tangannya. Goresh menjawab, bahwa ia akan minta tanda tangan Lennon dilain hari. “Akan saya tunggu,” kata Chapman.
John Lennon adalah salah satu penyanyi dan juga aktor legendaris dunia. Peria bernama lengkap John Winston Lennon terkenal sebagai anggota dan pendiri grup musik The Beatles, bersama Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr.

Jhon Lennon bersama isterinya, Yoko Ono. Merampungkan sebuah rekaman tunggal baru berjudul “Walkin’ On Thin Ice” di studio Record Plant dan sempat berwawancara dengan RKO Radio hingga jam 22.30. Menurut rencana rekaman tunggal baru ini akan direlease akhir tahun baru, lagu tersebut akan dinyanyikan oleh Yoko Ono dan Lennon mengiringinya dengan gitar.

“Kami mempunyai rencana makan malam sepulangnya dari studio” kata Yoko dikemudian hari. “Tapi sebagai gantinya kami memutuskan pulang,” Mobil limousine sewaan membawa mereka kembali ke Dahkota sekitar jam 22.50. Limousine itu mestinya berhenti digerbang musuk, namun berhenti dipinggir jalan. Yoko keluar lebih dulu, diiringi John beberapa langkah dari belakang.

Tatkala John, melewati bawah lengkungan gerbang masuk yang menghubungkan halaman dalam di gedung Dakota, sebuah suara terdengar sopan memanggilnya dari belakang: “Tuan Lennon,” John membalikkan badannya. Tampak Chapman berdiri seraya membidikkan pistol dengan kedua tangannya. Sebelum Lennon cepat beraksi, pistol Chapman menyalak beberapa kali, “Saya ditembak” rintih Lennon, terhuyung-huyung meninggalkan bercak-bercak darah sepanjang 6 kaki sebelum roboh didepan kantor penjaga pintu. Chapman kemudian membuang pistolnya dan penjaga pintu menyepak benda itu sejauh mungkin disaat Yoko menopangkan kepala suaminya dalam tangannya. “Apakah kau menyadari yang baru saja kaulakukan? “tanya penjaga pintu kepada Chapman. “Saya baru saja menembak John Lennon ,” jawab Chapman tenang

Dalam beberapa menit polisi berdatangan atas laporan penjaga pintu lewat teleponnya. Chapman menunggu mereka, membaca sepintas lalu novel klasik karangan J.D Silinger : “The Catcther In The Rye.”

Saat dua orang polisi menggeledah dan memborgol Chapman, dua orang polisi lainnya memeriksa tubuh Lennon. “Tubuhnya bermandikan darah, semuanya merah, “seru polisi Anthony Palma. “Orang ini sedang sekarat, lekas angkat !” Lennon setengah sadar dan bemandikan darah diangkat ke jok belakang mobil patroli James Moran. “Tahukah siapa anda ?” tanya Moran. Lennon mengerang lalu menganggukkan kepalanya. Ketika Moran melarikan Lennon ke rumah sakit Rooselvelt 15 blok jauhnya, Palma membututi mobilnya bersama Yoko.

Kemudian para dokter mengumumkan kematian Lennon setibanya di rumah sakit, suatu tim terdiri tujuh orang dokter bedah tetap berusaha keras untuk menyelamatkan, tapi luka-lukanya sangat parah 3 lubang peluru didadanya, dua diantaranya menembus punggung dan dua lubang lagi terdapat ditangan kirinya. “Mustahil untuk bisa menyelamatkan dia,” kata dokter Stephen Lynn. “Ia sudah kehilangan darah sekitar 80%. “Sudah berusaha keras tanpa hasil, salama dua puluh menit dalam menyelamatkan Lennon para dokter bedah itu menyerah, kemudian Lynn-pun memberitahukan Yoko.

“Dimana suami saya ?” Tanya Yoko kepada Lynn. “Saya ingin mendampingi suami saya. Ia menginginkan saya mendampnginya, dimanakah dia?” “Kami membawa kabar buruk,” jawab Lynn. “Saya ingin menarik napas dalam-dalam. “Suami anda telah meninggal dunia. Tanpa penderitaan.”

Pertanyaan mendasar: apa yang membuat novel The Catcther In The Rye menginspirasi Chapman untuk membunuh?

Mungkin jawabanya adalah, karena ia terinspirasi oleh Holden Caulfield, sang protagonis, pencerita dalam The Catcher in the Rye.

Holden hampir membenci semua orang. Semua orang, kecuali abangnya, D.B., dan dua adiknya, mendiang Allie dan Phoebe yang lucu. Juga Jane Gallagher, gadis yang ia anggap mampu mengerti dirinya. Di luar keempat orang itu, dunia dipenuhi oleh orang-orang yang palsu dan aneh. Begitu anehnya, hingga mereka harus dilihat dengan penuh kebencian.

Ia membenci Robert Ackley, teman satu asrama yang jorok, sering ngupil, potong kuku sembarangan, tukang ngorok, bermuka jelek dan berjerawat. Ia juga tak suka dengan Ward Stardlater, teman sekamar yang meski gagah dan ganteng, tapi jorok. Pisau cukurnya berkarat. Dan yang paling membuatnya marah, Ward mengencani Jane. Ia membenci semua gurunya, supir taksi, dan semua orang yang ia jumpai di jalanan New York.
Ia mendeskripsikan dengan detail kekurangan setiap orang, merinci apa saja yang membuat mereka harus dibenci. Holden adalah remaja tanggung yang melihat segala sesuatu dari sisi buruk. Ia tak pernah berprasangka baik terhadap apa pun. Bahkan terhadap kebaikan gurunya, Tuan Antolini, yang memberinya atap saat ia tak tahu harus ke mana di malam New York bulan Desember yang beku.

Di luar prasangka buruknya kepada semua orang dan juga kemalasannya belajar, hingga ia kerap ditendang dari sekolah, Holden adalah pemuda biasa. Pemuda kebanyakan yang kita bilang normal.

Ia tak terlalu nakal. Mabuk iya, merokok sering, tapi ia masih perjaka saat teman-teman seusianya sudah meniduri banyak gadis. Holden memang kerap bertindak di luar kendali, seperti tiba-tiba memiting dan bergulat dengan Ward, tapi ia bukanlah perusuh yang liar. “I’m not too tough. I’m a pacifist if you want to know the truth,” katanya.

Ia tak sedang membual saat mengatakan itu (meski ia kerap membual). Lihat saja waktu ia datang ke rumah Tuan Spencer, guru sejarah yang sudah sepuh, untuk berpamitan. Meski di otaknya bermunculan seribu sumpah serapah dan hinaan keji kepada gurunya, namun ia berlaku amat sopan. Bahkan saat tak tahan dengan nasihat gurunya dan harus pergi, Holden berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya, meski untuk itu ia harus berbohong.
Tapi selama 30 tahun setelah diterbitkan pada 1945-1946, The Catcher merupakan novel yang paling dilarang di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan sejumlah negara. Bahasanya yang kasar, kisah hubungan seks di luar nikah, mabuk-mabukan, dan prostitusi adalah hal-hal kontroversial yang membuat novel ini dibenci.

Meski sempat dilarang, The Catcher juga merupakan novel yang paling banyak diajarkan di sekolah-sekolah Amerika di saat yang sama. Ini karena Holden dianggap sebagai cerminan kebanyakan anak muda yang gelisah, yang menyimpan kegelisahannya dan hidup dalam kemunafikan masyarakat kelas menengah atas.

Dalam novelnya, J.D. Salinger mampu mengajak pembaca masuk ke dalam diri Holden, memakai kacamatanya, dan melihat dunia dari jendela neraka. Tidak hanya itu, Holden juga mampu membuat kita lebih reaktif terhadap apa yang ingin kita lakukan. Dengan deskripsi itu Salinger, bisa mensugesti orang untuk berpikir seperti Holden.

Setidaknya itulah yang penulis rasakan saat membaca novel ini. Dan hal itulah yang mungkin dirasakan oleh Mark David Chapman, pembunuh John Lennon, saat ia mengatakan bahwa ia mendengar bisikan-bisikan yang menyuruhnya untuk membunuh. Kisah novel ini sendiri amat sederhana, menceritakan beberapa hari menjelang Natal, setelah Holden dikeluarkan dari sekolah berasramanya. Setelah sedikit bercerita tentang apa yang terjadi di asrama di hari terakhirnya, cerita mengalir dalam pengalaman Holden selama beberapa hari luntang-lantung di New York.

Mengembangkan Imajinasi Naratif dalam Pendidikan Alternatif

Oleh: Ali rif’an
Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh masyarakat di belahan dunia mana pun. Tujuan dalam proses pendidikan tersebut [dalam Islam] sering disebut dengan fitrah. Fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan menjadi bebas. Kesemuanya itu disebut dengan tujuan humanisasi (ke-ummat-an).

Sepanjang sejarahnya, pendidikan bukanlah proses yang didalamnya terdapat pemaksaan atau doktrin, tetapi gerakan melawan kecenderungan tersebut. Pengetahuan pun bukan barang jadi yang tinggal diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang memerlukan kreativitas serta kebebasan pemaknaan. Itulah kiranya idealitas pendidikan.

Namun pada kenyataanya, pendidikan yang diharapkan mampu menjadikan diri serta orang lain terentaskan dari penindasan dan kesengsaraan justru menjadi aktor yang menindas manusia. Selama ini, kita melihat penindasan justru lahir dari dunia pendidikan yang kita banggakan dengan sebuah lembaga yang bernama sekolah. Dari semua hal tersebut ada sebuah perenungan yang bisa kita jadikan evaluasi bersama, benarkah sekolah adalah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas pendidikan bagi masyarakat? Benarkah orang yang tidak bersekolah identik dengan predikat tak berpendidikan? Bagaimana pendidikan seharusnya dimaknai? merupakan beberapa hal yang perlu mendapatkan jawaban dan pensikapan yang lebih bijak.

Menimbang Pendidikan Alternatif
Pendidikan sejak awal perkembangannya dianggap bagian penting dari perjuangan melawan penguasa “kolonial”. Pikiran itu berkembang setelah timbul dan adanya kesadaran bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan hanya karena keserakahan dan kejahatan penguasa, tapi juga karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan rakyat pribumi untuk melawan, seperti halnya di Indonesia, selama kurang lebih tiga setengah abad lamanya.
Pendidikan yang berpijak pada budaya “pribumi” di Indonesia mulai bersemi di tengah dominannya model pendidikan kolonial yang diskriminatif sejak awal abad ke-19. Model robotik pendidikan dengan metode hafalan dan tekanan sikap penurut melahirkan gagasan bagi beberapa orang untuk mencoba memahami arti dan makna pendidikan secara lebih luas. Di antara yang sedikit tokoh pelopornya dan dijadikan “pendidikan alternatif” pada zamannya adalah Rabindranath Tagore di India dengan Santiniketan-nya, Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, Ivan Illich dengan Deschooling Society-nya serta Paulo Freire dengan Conscientization (penyadaran)-nya.

Rabindranath Tagore atau sering disebut dengan Gurudev lahir di Kalkuta, India pada 7 Mei 1961 dan meninggal pada 7 Agustus 1941 di kota yang sama. Ia lebih dikenal sebagai sastrawan besar India dan merupakan orang Asia pertama yang mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1913. Namun, di awal abad ke-20, selain menghasilkan karya-karya sastra, ia juga mendirikan sekolah yang khas dengan metode yang mencerahkan dan memberikan kemandirian pada murid-muridnya yang dikenal dengan nama Santiniketan; yang dalam bahasa Arab bermakna darrussalam (tempat tinggal yang damai).

Pemahaman mendalam yang terdapat dalam karyanya, Agama Manusia (Tagore, 2003:189) tentang kesadaran esensi illahiyah yang diyakininya telah mengental dalam kesadaran manusiawi, yang secara tidak sadar bergerak dalam pikirann dan telah memaksanya keluar dari mendalami sastra dan mengambil bagian dalam dunia kegiatan praktis (pendidikan). Kebutuhan untuk memperoleh realisasi diri spiritual dalam kehidupan manusia dengan melakukan layanan yang tidak mementingkan diri. Pada waku itulah didirikan sebuah lembaga pendidikan bagi anak-anak yang merupakan “kuil hidup” yang telah ia rintis.

Santiniketan merupakan sebuah lembaga pendidikan yang khas dengan budaya lokal dan sesuai kebutuhan masyarakat umum, berbeda dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh penjajah Inggris pada masa itu. Di Santiniketan, proses pembelajarannya dilakukan secara sederhana. Belajar dilakukan dengan duduk di atas rumput yang dinaungi pohon rindang. Tetapi pelajarannya sangat bermakna dan membekas pada diri murid-murid. Di sana diajarkan hal-hal atau keahlian yang sesuai dengan keperluan dan kondisi penduduk lokal setempat, dikembangkan berdasar kearifan lokal (local genius), bersahabat dengan alam, ketrampilan praktis, dan lain-lain, sehingga mereka yang lulus dari sekolah tersebut benar-benar bisa memanfaatkan ilmunya pada kehidupan sehari-hari. Dan inilah kiranya yang dalam istilah sekarang disebut dengan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).

Tokoh kedua sebagai figur dan sekaligus sebagai tokoh pendidikan bagi rakyat Indonesia adalah Ki Hajar Dewantoro. Ki Hajar Dewantoro lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat di Yogyakarya pada 2 Mei 1889, merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi dengan semboyan yang berbunyi “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Sampai saat ini semboyan tersebut masih dipakai dalam semboyan pendidikan di negeri ini. Hari kelahirannya kemudian diperingati dengan hari pendidikan Nasional. Gagasan tentang pendidikan yang memerdekakan lahir atas pengamatannya terhadap sistem pengajaran kolonial. Menurutnya, pendidikan dan pengajaran kolonial menjauhkan rakyat pribumi dari realitas sehari-hari dan itu berarti menghapus kesadaran akan kemerdekaan dari penjajahan kolonial.

Kritik atas sistem pendidikan kolonial ini diberi bentuk konkret dengan membangun perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Ketertarikan banyak orang di masa itu untuk menyekolahkan anaknya di Taman Siswa didorong oleh sistem pengajaran yang menekankan pada kemerdekaan anak didik. Berbeda dengan sistem pendidikan Barat yang juga dianut oleh pemerintah kolonial, Taman Siswa mendidik murid-muridnya supaya berperasaan, berpikiran, dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan untuk mencapai hidup tertib bersama. Sebaliknya, pada saat itu, karakter pengajaran kolonial menekankan pada perintah, hukuman, dan ketertiban (regering, tucht, orde).

Taman Siswa menjalankan asas kerakyatan yang membuat pendidikan dan pengajaran berguna bagi lapisan besar masyarakat pribumi. Penyakit individualisme yang memisahkan satu orang dengan orang lain digantikan dengan nilai-nilai kekeluargaan (nasionalisme). Nilai-nilai kekeluargaan atau kolektif ini dikemukakan Ki Hajar Dewantara bukan untuk menghilangkan kemerdekaan personal. Sebaliknya, di dalam hidup merdeka seseorang harus ingat bahwa ia hidup bersama orang lain yang juga berhak menuntut kemerdekaan diri. Oleh karena itu, pengajaran nilai kolektif dimaksudkan untuk memberi kesadaran tentang kehidupan bersama dalam bingkai persatuan masyarakat.

Tiap-tiap Orang djadi Guru, tiap-tiap Rumah djadi Perguruan! Demikian bunyi semboyan Ki Hadjar Dewantara. Semboyan ini, menganjurkan suatu gerakan mobilisasi untuk belajar bagi seluruh rakyat pada masa itu. Mobilisasi intelektual yang dimaksud di sini adalah mengerahkan seluruh sumber daya manusia yang ada untuk memberi pengajaran kepada anak-anak pribumi. Anjuran ini merupakan cita-cita pendiri perguruan Taman Siswa untuk memajukan pendidikan rakyat.

Ivan Illich melalui Deschooling Society, yang dialihbahasakan dengan judul Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah (Ivan Illich: 2000) mengungkapkan bahwa anggapan mengenai sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan adalah bias dari kehidupan kapitalis yang telah merasuk dalam kesadaran masyarakat. Menurut Illich, sekolah adalah fenomena modern yang lahir seiring dengan perkembangan masyarakat industri kapitalis. Konspirasi terselubung antara pendidikan dan kapitalisme menurutnya juga tak lepas dari dukungan pemerintah (kekuasaan), sehingga daya hegemonik yang diciptakannya menjadi massif.

Struktur masyarakat industri menurut arkeolog gagasan [Illich] yang lahir di Wina, Austria tahun 1926 ini telah menyeret kesadaran masyarakat kepada dependensi institusional dalam banyak hal. Masyarakat selalu dan hanya mengaitkan pendidikan dengan sekolah, pelayanan kesehatan dengan rumah sakit, dan seterusnya. Ketergantungan masyarakat terhadap institusi sekolah untuk memperoleh pendidikan menurutnya merupakan suatu bentuk kelembagaan nilai yang mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan polusi fisik, polarisasi sosial, dan ketidakberdayaan psikologis. Definisi dan label-label sosial diciptakan dalam kerangka hubungan dengan lembaga sekolah. Baginya sekolah tradisional lebih jauh mengebiri kecerdasan dan menjerat

kemanusiaan serta hakikat diri dalam perangkap mekanik, sehingga tak ada pilihan lain kecuali membangun masyarakat tanpa sekolah. Sekolah (formal), dalam pandangan Illich, tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. Anak-anak bersekolah untuk disodori apa yang mesti dipelajari dan apa yang tidak boleh dipelajari. Mereka diiming-imingi bahwa dengan semua itu, impian-impian hidup akan tergapai. Imajinasi mereka “disekolahkan” untuk menerima jasa pencangkokan nilai-nilai.
Gagasan radikal yang digulirkan oleh Ivan Illich mendapat wujudnya dalam model pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire. Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil tempat kelahirannya, dimana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa (Paulo Freire, Politik Pendidikan: 2001). Bagi Freire, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientization), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah Brazil yang hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya, pengenalan abjad terkait dengan pembebasan. Karena itu program pemberantasan buta huruf yang ia ciptakan sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.

Arkeolog gagasan kelahiran Brazil pada 19 September 1921 dan meninggal pada 2 Mei 1997 ini mengungkapkan bahwa proses penyadaran (consientization) dan pembudayaan (culturation) berjalan terus-menerus demi mewujudkan sebuah peradaban dan tatanan kehidupan kemanusiaan yang lebih adil. Pendidikan akan menjadi diskursus tandingan (counter discourse) terhadap diskursus yang menghegemoni dan menindas, agar arus perubahan selalu terjaga dan terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia.

Pendidikan yang dibutuhkan oleh lapisan masyarakat menurutnya adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Paradigma pendidikan yang mengarahkan manusia untuk senantiasa menyadari bahwa dirinya sedang mengalami transformasi terus-menerus (learning to be) dan untuk selalu “menjadi sesuatu” (becoming to), sangat signifikan keberadaannya.

Dari beberapa latar belakang dan kondisi sosial yang melingkupi para tokoh pendidikan di atas, dapat diambil beberapa kesamaan tipologi dalam merekonstruksi konsep pendidikan yang ditawarkan dan dijadikan sebagai alternatif. Setidaknya ada lima kesamaan tipologi mendasar: pertama, pendidikan yang dilakukan merupakan pendidikan untuk meng-counter kaum dominan baik oleh kolonial maupun penguasa pada masanya. Kedua, pendidikan yang dilaksanakan bertujuan untuk memahami realitas sosial. Ketiga, adanya pembebasan dan penghargaan yang luas kepada peserta didik dalam mengaktualisasikan diri dan kemampuannya. Keempat, berbagai model pendidikan, entah yang kemudian menamakan ‘pendidikan alternatif, ‘sekolah bebas’, atau bahkan de-sekolah-isasi, tersebar sebagai sentra pendidikan yang dibangun atas dasar kesederhanaan dan keterbatasan kemampuan, terutama dari segi finansial bisa dibaca sebagai pesan yang mengatakan bahwa transformasi pengetahuan dan sosialisasi tidak hanya menjadi monopoli sekolah dengan segala atributnya. Belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan diselenggarakan oleh siapa saja. Kelima, formalisme kelembagaan pendidikan bagi para arkeolog gagasan menjadi relatif dalam pemaknaan, namun tetap menuju pada pemerdekaan dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman sosial.

Mengembangkan Imajinasi Naratif dalam Pendidikan Alternatif
Diakui atau tidak, kita semua hidup dalam dunia yang seluruh atau sebagian besar logikanya mengacu pada satu hal, yakni motif keuntungan ekonomi. Akibatnya, seluruh proses hidup, termasuk pendidikan, diarahkan pada motif tersebut. Dalam penghayatan dan kesadaran tentang dirinya dan dengan diri sendiri pun, manusia terjerembab pada orientasi pasar. Dalam konteks ini manusia mengalami dan menghayati dirinya sebagai benda yang dipekerjakan di pasar.

Nilai gunanya sebagai manusia ditentukan oleh sejauhmana kebutuhan pasar terhadapnya. Manusia belum atau bahkan tidak menghayati dirinya sebagai agen aktif yang mengemban kekuatan manusiawi. Makna hidup diekspresikan dengan menjual dirinya secara berhasil di pasar. Pemahamannya akan diri sendiri tidak keluar dari aktivitas sebagai makhluk yang mencinta dan berpikir, tetapi semata-mata dari peran sosio-ekonominya. Eksistensi dalam kehidupan ini dihayati sebagai upaya untuk menginvestasikannya secara baik agar dapat mendatangkan keuntungan ekonomis bagi dirinya.

Berdasar realitas dan perputaran roda peradaban di atas, meniscayakan kita untuk selalu menemukan formulasi yang tepat dalam menjawab dan menyikapi tantangan peradaban yang mengemuka di hadapan kita. Dan pendidikan adalah salah satu, bahkan satu-satunya aktor yang harus berperan aktif dalam upaya formulasi ini, karena peradaban manusia akan selalu dipengaruhi oleh mainstream yang berkembang di dalamnya. Untuk itulah, pendidikan yang tidak hanya memprioritaskan satu aspek hidup, sangat diperlukan. Dengan kata lain, pendidikan harus lebih memperhatikan pendidikan dimensi-dimensi lain dalam diri manusia.

Pendidikan dimensi-dimensi lain di dalam diri manusia tersebut antara lain kemampuan yang terkait dengan rasa kemanusiaan dan seni, yang notabene sangatlah penting bagi penciptaan kehidupan bersama yang harmonis. Kedua hal tersebut akan bermuara pada kemampuan praktis untuk berpikir kritis, kemampuan untuk mentransendensi kesetiaan sebagai warga lokal, serta kemampuan untuk melihat masalah tidak sebagai anggota dari satu kelompok kecil saja, tetapi sebagai bagian “dari seluruh dunia”. Dan, mungkin ini adalah yang terpenting, kemampuan untuk merasa empati dan simpati melihat penderitaan orang lain, dan kemudian terdorong berbuat sesuatu untuk mengubahnya.

Semua kemampuan tersebut dapat disebut sebagai “imajinasi naratif” (narrative imagination), yang membuat kita dapat mengerti dengan baik keadaan orang lain, serta mengerti sungguh-sungguh apa yang menjadi gejolak emosi serta keinginan mereka. Proses pengembangan simpati merupakan tugas utama pendidikan pribumi. Konsep pendidikan imajinasi naratif ini juga merupakan inti dari teori pendidikan modern yang sangat menekankan pentingnya pendidikan pemanusiaan manusia dan seni (moral).
Akhirnya, tanpa bermaksud memutlakkan, karena menyadari perbedaan sejarah, budaya dan konteks sosio-antropologis arkeolog pendidikan dalam meletakkan gerak pembaharu pendidikan pada pandangan humanis (pribumi), langsung atau tidak, pandangan gerakan pembaruan pendidikan saat ini seyogyanya kembali mengacu pada gagasan para pemikir pedagogi-revolusioner seperti Rabindranath Tagore, Ivan fliich, Paulo Freire termasuk Ki Hadjar Dewantara. Sumbangan historis konsep dan gagasan mereka akan melengkapi pemahaman tentang pemaknaan ulang konsep pendidikan di tanah air.

Konsep Problem Possing Education atau pendidikan hadap-masalah, merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan pemikir dan arkeolog bagi pendidikan kaum pribumi dan marginal agar peserta didik mampu memahami realitas sosial yang senyatanya disamping motif-motif lain, terutama motif ekonomi. Dan kiranya inilah yang coba ditawarkan dalam sistem pembelajaran di negeri ini dengan mengangkat sebuah mainstream pembelajaran kontekstual yang terkanalisasi dalam sebuah sistem Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang masih perlu kesadaran dan kerjasama kolektif untuk mewujudkannya.[ ]

MERAYAKAN ABNORMALITAS

Oleh: Roli Maulidiansyah

DI sebuah gang, di bawah naungan kegelapan malam dan kepekatan kabut, sorang pemuda berjalan sendirian menyusuri jalan raya beraspal yang mengarah ke Songgoriti, melintasi padang rumput, dan barisan pohon pinus. Pohon cemara yang berdiri tegak di balik tembok dan gerbang besi yang memagari pekarangan rumah di kiri jalan, menimbulkan bayangan-bayangan gelap.

Angin bertiup kencang, dingin menyapu daerah lembah peggunungan. Embun memercik di antara pepohonan yang rindang, serta jalan yang sepi. Dalam langkah panjangnya dia menggigil di balik balutan jaket tipis dan celana panjang. Tangannya sangat kesusahan dengan buntalan kecil yang dibungkus kain sarung. Dia menggeserkan buntalan itu ke samping, kadang di siku, kadang di bagian tubuh lainnya. Dia berbuat begitu agar dapat memasukan kedua tangannya ke saku.

Tangannya kaku kedinginan. Dia mempercepat langkahnya, sesekali ia melayangkan pandangannya ke kanan jalan. Di sebelah kanan jalan terdapat pohon kelapa. Alang-alang yang sebagian sudah mengering. Rumput-rumpu hijau menyembul di pematang sawah. Sebuah desa dengan rumah-rumah yang beratap seragam tampak membayang di depannya.

Setelah melewati sepuluh rumah, ia tiba di sebuah gang kecil, di depan hotel Arumdalu. Dari tempat ia berdiri terlihat hamparan rumput di pekarangan tampak hijau kebiruan dan berkilau-kilau di bawah siraman sinar lampu; di sana-sini tumbuh pohon cemara. Jalan mobil berlapis kerikil yang menuju depan pintu hotel diapit pagar putih tempat mawar-mawar merah merambat. Sebuah bus pariwisata dan tujuh mobil pribadi diparkir di depan, sementara ekor bus berwarna krem tampak menyembul dari garasi hotel.

Dari situ pemuda itu terus menyusuri gang sempit tepat di depan hotel. Berhenti di depan rumah di deretan kedua. Dinding yang retak di sana-sini dicat biru muda, genting di atap banyak yang pecah. Rumput liar di pekarangan rumah di biarkan begitu saja. Daun-daun pohon pisang dan palem yang sudah mati dibiarkan bergelantungan.

Tepat di samping rumah terdapat sebuah gubuk, disangga oleh delapan buah kayu. Dua penyangga depan telihat paling mencolok karena di ukir dengan pola-pola yang menyerupai ular naga. Sekilas cahaya keluar dari jendela yang berjelaga, dua lampu usang digantung di luar, di bangunan yang kayu penyangganya telah menghitam dengan penampang kuda-kuda yang sangat kokoh. Gubuk itu berdinding papan, beratap seng, dan beralaskan bambu yang dirangkai dengan utasan tali. Alas itu diletakan di atas tumpukan kayu yang tingginya mencampai lima puluh centimeter dari permukaan tanah, sehingga jika hujan turun, tidak terkena genangan air.

Dari tempat saya berdiri, terlihat pemuda itu sedang melihat kearah saya dari balik jendela kaca. Ia pun datang menghampiri.
“Cari villa mas, atau mau lihat-lihat dulu, nanti kalau tidak cocok saya carikan di tempat lain?” tanyanya kepada saya.
“Saya mau lihat-lihat dulu.”
“Ya tidak apa-apa” kami berjalan menuju rumah itu

Empat lampu neon menerangi ruangan yang terisi satu ruangan tamu, ruangan tengah, dapur, dan dua kamar tidur. Di ruangan tamu terdapat empat kursi sofa dan satu meja. Di kamar depan, ada satu lemari, sebuh meja dan dua kursi kayu tua. Springbad, bantal, dan selimut yang tersusun rapi. Bekas rokok yang dimatikan menodai dinding yang dicat kuning terang. Pakaian usang tergantung pada sebuah paku, sebuah guci diletakan di lantai dekat lemari. Selain itu, tidak ada yang lain. Sedangkan kamar lainya hanya terdapat springbad, bantal, dan selimut. Masing-masing kamar mempunyai kamar mandi.

Sebuah ruangan yang cukup luas, dilengkapi sebuah televisi 21 inci, DVD Player beserta kasetnya. Karpet berwarna hijau dengan ukuran panjang empat meter dan lebar dua meter terhampar di atas keramik. Dinding dihiasi dengan berbagai poster. Tak ada ornamen selain sebuah kotak karton merah di atas TV, dan burung-burungan di piringan jam yang telah menunjukan pukul 22.00, detak bunyinya seperti mengisi kehampaan plafon, di ruangan tengah.
Pemuda itu terus mengikuti saya, melihat-lihat kondisi rumah.
“Berapa, Lima puluh ribu ya?” tanya saya.
Setelah berpikir sejenak ia pun mengaggukan kepala tanda setuju.

Pemuda itu menggeliat, menarik kedua tanggannya di antara rambut pirang yang berjatuhan di dahi dan kuduknya. Tubuhnya termasuk kurus untuk anak berusia 19 tahun, badanya ringkih, lengannya mengkilap, sementara mukanya pucat. Ia menguap untuk terakhir kalinya, seketika bau minuman keras meyebar dari mulutnya yang agak besar. Matanya berair karena menahan kantuk, raut mukanya sendu, ia kelihatan sembab dan kosong karena kelelahan. Ia tertidur pulas.

Waktu telah menujukan pukul 07.00. Saya memandang ke luar melalui jendela kamar. Pagi yang indah. Matahari sudah muncul dari peraduannya. Namun dingin masih menyelemuti kawasan ini. Jauh di atas, burung-burung melayang mengikuti arus angin. Dengan sayap-sayap mereka yang terentang lebar. Salah satu burung tiba-tiba menukik tajam dengan sayap terlipat di sisi tubuh, menerjang permukaan ilalang, lalu terbang lagi sambil membawa belalang di paruhnya.
Dari kamar sebelah, terdengar suara kamar terbuka. Pemuda itu tampak telah beranjak dari tempat tidurnya. Sesekali ia menggeliat untuk mengendorkan otot-ototnya, sambil berjalan menuju ruangan tamu dan berbaring di atas sofa.

Pemuda itu bernama Hermawan, sejak kecil ia sudah bertempat tinggal di Songgoriti, di asuh oleh kakek dan neneknya, sedangkan orang tuanya berada di daerah Malang selatan. Sekolah Dasar hingga Menengah ia tamatkan di salah satu sekolah di kota Batu. Sejak lulus Sekolah Menengah Atas ia sudah bergelut dalam menyewakan villa.

Setiap malam ia selalu mangkal di gang-gang sempit, tepian jalan, dan gerbang masuk kawasan Songgoriti, mencari tetamu yang ingin meyewa villa.

“Sebenarnya ada niatan untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi tapi lagi-lagi terbentur oleh biaya, tidak menjadi beban orang tua bagi saya sudah untung”

Untuk lepas dari ketergantungan terhadap orang tua, mulanya ia bekerja sebagai penjaga villa, setiap bulannya dia dapat mengantongi uang Rp 300 ribu. Belum genap enam bulan sang empu villa pindah kerja ke Jakarta. Hermawan menawarkan diri untuk menyewa rumah tersebut. Akhirnya rumah itu ia sewa dengan harga enam juta pertahunnya, diangsur tiga kali selama enam bulan. Kini sudah dua tahun berlalu ia menyewa. Dalam kurun dua tahun Hermawan bisa mengantongi uang kurang lebih dua juta perbulannya.

Bagi Hermawan, menyewakan villa adalah pekerjaan yang menjanjikan. Kini ia sudah mampu membiayai hidupnya sendiri, selain itu ia juga sering membantu kebutuhan-kebutuhan kedua orang tua. Menyekolahkan adik-adiknya. Sisanya ia tabung.


DI jantung desa Songgoriti terdapat sebuah pasar, berjarak 15 meter dari rumah Hermawan. Tujuh meter dari Hotel Arum Dalu. Terbelah oleh jalan yang terbagi menjadi empat, masing-masing mempunyai lebar yang sama. Dikelilingi oleh lapak-lapak pedagang kaki lima, penjual aneka ragam bunga, bermacam-macam hewan peliharaan, makanan ternak, kerajinan tangan, dan pakian jadi.

Pasar berbentuk memanjang, kira-kira 15 x 10 meter, dibelah oleh jalan selebar 1 meter. Berjajar dan berdempetan lapak-lapak pedagang yang menjual aneka macam cindera mata, mulai dari kain bordiran, perlengkapan sembahyang, taplak meja, kerajinana tangan, dan boneka. Buah-buahan, sayur-sayuran, dan bumbu masak terletak paling unjung pasar.

Dari pusat pembelajaan itu, kita bisa menyaksikan secara langsung kehidupan modern dan konservatif atau aliran radikal dan moderat berbaur menjadi satu, yang tidak peduli antara satu dengan yang lain. Mengunjungi pasar Songgoriti, biasanya bagi para wisatawan sebagai kunjungan gratis setelah mengunjungi tempat-tempat wisata di Songgoriti.

Jalan yang berada di depan pasar adalah jalan utama yang digunakan untuk keluar masuknya kendaraan yang menju kawasan pemandian. Di sebelah kiri dan kanannya terdapat deretan toko dan warung. Di kiri, ada dua toko terbuat dari kayu, menjual barang-barang kelontong. Di sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya warung kopi.

Sekitar 5 meter dari warung kopi, sebuah lahan yang menjorok tujuh meter ke dalam di gunakan sebagai lahan parkir. Di sebelah kanannya terdapat sebuah gardu. Dua orang polisi, berambut pendek, berkaca mata hitam, sedang asik menikmati kopi, sambil memantau lalu lintas yang mulai dipadati oleh pengunjung.

Tiga bus pariwisata datang dari arah barat, salah satu polisi itu mengangkat tangannya sambil menunjuk ke tempat parkir. Sopir bus itu memarkirkan kendaraanya. Kepala bus mengahadap ke arah pintu keluar dari Songgoriti. Satu demi satu para wisatawan turun.

Seketika, Songgoriti menjadi lautan manusia. Sebagian wisatawan berhamburan menuju ke tempat pemandian, sebagian lainnya melihat-lihat aneka macam ragam bunga.

Kian siang kawasan ini kian ramai. Semua hilir-mudik. Riuh. Pedagang kaki lima yang menjual bakso ikut melengkapi teriakan pedagang yang menawarkan barang dagangan
Para wisatawan yang mengendarai sepeda motor juga mulai berdatangan. Kebanyakan dari mereka pasangan muda-mudi. Mulai menyesaki area parkir yang tempatnya berada di depan pasar.

Sebagai tempat wisata, Songgoriti sangat di gemari oleh pengunjung. Apa lagi di akhir pekan. Pengunjung dari berbagai daerah hampir tidak pernah melewatkan liburan mereka di Songgoriti.
Karena banyaknya pengunjung, hotel-hotel yang berada di sekitar wisata tidak mampu menampung tetamu yang ingin bermalam.

“Waktu zamannya lurah Samat. Masyarakat sekitar Songgoriti di anjurkan menjadikan rumah mereka sebagai penginapan atau villa, untuk menampung para wisatawan yang berkunjung. Lama kelamaan mayoritas masyarakat Songgoriti menjadikan rumah mereka sebagai villa. Sehingga para tetamu yang ingin bermalam tidak khawatir lagi seandainya hotel-hotel yang ada di sekitar Songgoriti sudah penuh. Mereka bisa meyewa rumah penduduk sebagai tempat menginap” ujar Supriadji, ketua RW Songgoriti.

Sejak tahun 1980-an masyarakat songgoriti telah menjadikan rumah mereka sebagai villa, namun belum terlalu banyak seperti saat ini. Tahun 1985 sampai 1990-an ada sekitar 10-20 rumah. Tipikal kamar-kamar di rumah pelesiran Songgoriti memang tak jauh dari gambaran petak-petak kecil, yang sebagian di antaranya berdinding anyaman bambu. Ranjang kecil. Sumur tanpa dinding.

Pada awal tahun 1980-an mayoritas masyarakat Songgoriti menggantungkan kebutuhan sehari-hari mereka dengan bertani dan berternak. Menyewakan villa adalah pendapatan sampingan bagi mereka. Namun, dari setiap tahun terjadi pergeseran, hasil bertani dan berternak tidak semakin menguntungkan.

“Hasil dari bercocok tanam kurang begitu bagus, dari berternak biaya oprasionalnya terlalu tinggi. Sedangkan mulai tahun 1990-an sampai pasca reformasi kebutuhan sembako, kubutuhan manusia paling pokok mulai mengalami kenaikan. Oleh karena itu dibutuhkan tambahan pendapatan untuk mensejahterahkan masyarakat. Akhirnya, masyarakat sepakat untuk mendirikan rumah sewa di mana tatanan rumah sewa itu tidak mengurangi kesejukan alam, tidak mengurangi nilai religius, menerima tamu siapa saja yang bertujuan untuk menikmati nuansa di Songgoriti. Karena Songgoriti itu hawanya sejuk, bertempat di dataran tinggi, dan letak geografisnya berada di lembah lereng pegunungan, serta di sini juga sudah punya nama, orang Jakarta atau Jawa Tengah pasti kenal Songgoriti. Ini merupakan daya tarik untuk di jadikan kawasan wisata” ujar Titut, ketua paguyuban villa Songgoriti

Kini sembilan puluh persen masyarakat Songgoriti menyewkan villa, sedangkan sepuluh persen lainnya berdagang. Dari tahun 1995 sampai 2008 berkembang menjadi 200 villa. Dengan catatan ada kesepakatan harga, ada paguyuban, ada ketetapan bersama dalam memiliki villa. “Jadi ada aturan main semaksimal mungkin supaya kenyamanan tamu yang ada di Songgoriti betul-betul dapat dipenuhi dan masyarakat yang mempunyai villa tersebut dapat menuntut jika tamu berbuat di luar batas, yang berhubungan dengan KUHP” tambah Titut

“Wisata, biasanya sangat dekat sekali dengan pelacuran. Bagaimana dengan di Songgoriti?” tanya saya

“Untuk menyiasati ukuran pariwisata. Pariwisata itu tidak bisa dikatakan putih, pariwisata itu abu-abu. Di dalam mengelola usaha pariwisata yang asasnya adalah wisata keluarga, kita mempunyai kesepakatan bersama. Berebeda dengan di Tretes, kalau di Tretes itu memang di setiap villa di sediakan pramuria atau PSK. Tapi kalau di Songgoriti tidak sama sekali. Dari tahun 1990-an sampai sekarang kita selalu mengadakan pengerbekan. Anak perempuan menyewa disini kalau malam cari obyek, kita usir, tangkap dan kita kasihkan ke aparat keamanan, supaya wisata yang nuansanya keluarga ini tetap terjaga karena kalau tidak hanya mengejar keutungan hanya sekali dengan menyediakan perempuan saya jamin satu tahun sudah tidak laku. Karena orang yang mau ke songgoriti nanti takut jangan-jangan suaminya di gangu orang.”

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Ketua paguyuban, RW, Satuan polisi PP, pihak pariwisata, dan masyarkat setempat merumuskan beberapa peraturan. Salah satunya melarang perempuan yang menyewa mencari obyekan. Melarang anak yang memakai seragam sekolah meyewa villa, jika ketahuan masuk kamar dan pemilik rumah memberikan izin untuk menyewa maka keduanya kena denda sebelum dilaporkan ke polisi.

****
Tak jauh dari rumah Titut yang tembok luarnya didominasi cat biru, duduk beberapa pemuda sambil merokok di sebuah gardu yang diapit oleh warung dan jalan beraspal yang menuju ke gang-gang di kanan-kiri jalan. Salah satu mereka bernama Rudi, ia menghampiri kendaraan-kendaraan pribadi yang parkir di depan toko untuk menjajakan villa.

Setiap hari Rudi mangkal di gardu itu bersama teman-temannya. Sudah lima tahun ia menjalani profesi sebagai penghubung. Target mereka adalah para wisatawan yang baru pertama kali mengunjungi Songgoriti. Jika mendapat tamu yang ingin menyewa, ia langsung membawa ke sejumlah villa yang berderet di kiri jalan, rumah-rumah beton berjajar, masing-masing mempunyai papan nama yang berbeda-beda semuanya bertuliskan “disewakan” tepatnya di jalan Rambutan.

Para tamu yang ingin meyewa di bebaskan untuk memilih villa yang ingin disewa. Setelah cocok, ia langsung memanggil pemilik villa untuk tawar-menawar harga. Para pemilik villa menawarkan dengan harga yang tinggi kepada peyewa jika ia memakai jasa penghubung. Karena pemilik villa harus memberikan komisi sebesar dua puluh persen kepada penghubung, seperti Rudi.

Muka-muka lama yang sering menyewa villa tentu saja tidak membutuhkan jasa penghubung. Mereka langsung menuju tempat, di mana mereka sering menyewa. Tak heran jika pemilik villa dan penyewa saling mengenal dan terlihat akrab. Hanya perempuan yang baru pertama kali menginap bersama pasangannya saja yang terlihat risih dan malu.

Kanan jalan sebuah gang yang dihiasi dengan tanaman bunga, patung harimau, kolam ikan yang berukuran 1 x 1 meter. Gang itu juga disesaki oleh perumahan warga yang dijadikan villa. Bangunan bertingkat dua menghadap ke jalan raya, tertuliskan “Pondok Rahayu disewakan” yang lokasinya dekat gang terlihat paling mencolok.

Dari rumah itu, Pasangan muda-mudi menuruni tangga sambil berjinjit. Perempuan itu mengenakan celana putih dan baju berwarna merah jambu, serta sepatu sandal tanpa kaus kaki. Ujung-ujnug rambutnya tampak pucat karena sinar matahari dan warna kulitnya menjurus sawo matang. Sedangkan laki-laki itu perawakannya seperti petinju, perutnya rata, dan pundaknya lebar. Mereka saling bercengkrama. Pasangan muda-mudi itu tidak menghiraukan walaupun beberapa pasang mata sedang tertuju ke arah mereka.

Pemandangan yang sama terdapat di villa Wisata Alam, letaknya tepat di depan gedung pertemuan yang biasa digunkan sebagai tempat pengajian oleh masyarakat setempat. Pintunya terbuka lebar. Pasangan muda-mudi sedang bermesraan. Sesekali tawa manja perempuan itu berderai terdengar jelas dari tepi jalan.

Para pemuda yang sedang menjajakan villa mengalihkan pandangan mereka ke sumber suara. Mereka hanya tersenyum. Seakan-akan telah terbiasa. “Namanya juga tempat wisata, di mana-mana kondisinya pasti sama, terserah mereka mau melakukan apa saja” ujar Rudi
Tiba-tiba saya terbesit dengan peraturan-peraturan yang diungkapkan oleh ketua paguyuban villa Songgoriti.

Menurut Rudi para tetamu yang menyewa villa hampir dipastikan berpasang-pasangan. Karena di sini tidak boleh menyediakan perempuan penghibur. Songgoriti hanya menyediakan tempat berupa villa. Untuk menyewa villa persyaratannya hanya meninggalkan KTP sebagai jaminan. Dari KTP itulah ia bisa mengenali nama, asal, dan status. Kebanyakan dari mereka belum menikah.

“Seandainya kami menolak pasangan belum memiliki status yang jelas untuk menyewa villa, terus yang mau meyewa villa itu siapa? Karena kebanyakan yang menyewa villa di sini itu mereka-mereka yang belum menikah. Sedangkan pendapatan utama masyarakat dari penyewaan villa”
Rudi juga mengatakan bahwa pemilik villa tidak terlalu memikirkan apakah mereka sudah menikah apa belum. “Sempat merasa bersalah juga sih, tapi itu tergantung cara kita menilainya. Agama memang melarang, tapi dari segi usaha dan materi kita tidak ada masalah”

Sebagai kawasan villa, Songgoriti sangat terbuka bagi siapa saja. Itulah sebabnya Songgoriti menjadi kawasan yang paling digemari oleh banyak wisatawan. Keterbukaan masyarakat rupanya menjadi ladang subur bagi para penyewa villa. Mereka bebas merayakan kesenangan masing-masing. Tidak ada yang merassa terganggu.

Tidak jauh dari gang itu. Terdapat sebuah masjid, di bagian atas, luar maupun dalam, dilapisi marmer. Sementara semua tiang masjid berbentuk hiasan bunga, sedangkan bagian bawah tiang masjid itu bergambar hiasan tangkai pepohonan. Tidak banyak hiasan kaligrafi seperti masjid pada umumnya. Lantai masjid juga terbuat dari marmer. Pada siang hari pantulan sinar matahari dari lantai masjid itu sangat kentara dan menyilaukan mata.

Kegiatan-kegiatan keagamaan diadakan setiap hari kecuali Sabtu dan Minggu, terbagi atas kegiatan anak-anak dan remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak. “Hari sabtu dan Minggu masyarakat di sini sibuk melayani tetamu jadi tidak ada kegiatan sama sekali.” ungkap Manan, salah satu pengurus masjid.

Tak mudah bagi Manan untuk mengangkat kembali pamor masyarakat Songgoriti yang religius. Bangunan-bangunan mentereng telah lama mengepung masjid. Di kanan-kiri berdiri Villa-villa bersusun tiga lantai.

Suasananya tidak jauh berbeda dengan gang Rambutan dan gang Macan. Villa-villa yang disewakan juga menjadi tempat favorit bagi pengunjung yang berpasang-pasangan.

“Ya...paling tidak yang hitam itu menjadi abu-abu, kalau mau dijadikan putih sudah tidak mungkin” ujar Manan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Sebagai pengurus masjid Manan juga merasa risih dengan kondisi yang ia hadapi saat ini. Menurut Manan Songgoriti adalah tempat kotor “Kami sadar apa yang kami lakukan di sini adalah perbuatan yang tercela. Karena, kami memberikan fasilitas bagi orang-orang yang mau melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Tapi kami berusaha untuk terus berperasangka baik kepada semua tamu”

Sekarang yang menjadi garapan utama Manan dan pengurus masjid lainnya adalah anak-anak sekitar. Karena setiap hari mereka disuguhi pemandangan-pemandangan yang tidak layak dilihat oleh mereka.

Itulah sebabnya warga membangun Taman Pendidikan Al-quran, 100 meter dari masjid. Ada dua lantai dan menghabiskan dana Rp. 140 juta, belum termasuk upah tenaga kerja. Semuanya dari swadaya masyarakat. Sekarang muridnya sudah mencapai kurang lebih 150 anak.

Dengan menyewakan villa perekonomian masyarakat Songgoriti membaik dibandingkan tahun-tahun dulu. Dimana pendapatan utama mereka masih bergantung pada sektor pertanian dan perternakan. Kini mereka dapat membangun fasilitas-fasiltas umum seperi jalan, TPA, dan masjid.
****
Ketika saya datang, Hermawan sedang memotongi daun-daun pohon pisang dan palem yang sudah mati. Membersihkan bunga-bunga dari tumbuhan-tumbuhan liar. Dia bertelanjang kaki serta mengnakan celana jins yang dipotong dan berbaju kaos tanpa lengan. Sambil berlutut ia mencabuti rumput liar yang tumbuh di antara tanaman tomat, lalu membuang semuanya ke dalama ember. Wajahnya bermandikan keringat. Setelah penuh ia melemparkan isi ember tersebut ke sebuah kolam yang berada di samping gubuk. Keningnya tercoret tanah bercampur keringat. Tadi pagi ketika saya berpamitan untuk melihat-lihat suasana pasar dan wawancara ke ketua paguyuban dan ketua RW . Ia masih tidur-tiduran di atas sofa.

Saya berbaring di teras gubuk. Di dalam seorang pemuda bertubuh besar. Berambut pirang. Kaki dan tangannya penuh dengan tatoo, bermacam-macam gambar ia torehkan dengan tinta hitam, biru, dan merah. Empat buah anting-anting terbuat dari besi menempel di telinga sebelah kiri. Sebuah gelang melingkar di lengan kanannya.

Namanya Bagus. Usianya 25 tahun. Dia pernah bekerja sebagai penjaga villa selama satu tahun. Namun, dia dipecat oleh majikan yang tak menyukainya. Kini ia tidak mempunyai pekerjaan tetap. Ia sering mangkal di depan pasar, menjajakan villa bersama Hermawan.

Secara diam-diam, mereka kerap memberikan petunjuk bagi lelaki yang ingin menyalurkan syahwat. “Setengah tahun yang lalu, gubuk ini biasa buat mangkal para ABG yang berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial. Para penghubung mengambil mereka di sini jika ada tamu yang memesan.” Bagus membuka pembicaraan.

“Bukankah dilarang menyediakan perempuan di sini?”
“Makanya sekarang di sini sepi. Kalau dulu, para pekerja seks komersial pernah ada yang menyewa villa selama satu bulan. Saya dan Hermawan yang kebagian mencarikan tamu, lumayan dapat dua puluh persen”

“ Kami sudah mendapat peringatan dari RW dan ketua paguyuban untuk ketiga kalinya. Jadi kami sudah tidak mengijinkan mereka untuk mangkal di sini lagi. Sekarang para Pekerja Seks Komersial itu mangkal di kos mereka masing-masing. Kalau mau makai ya harus menghubungi lewat telepon. Kos mereka nggak jauh kok dari sini.” Hermawan memberitahu

“Oh ya...kamar yang kamu sewa tadi malam sudah ada yang menempati” ujar Hermawan sambil melihat kearah saya.
“Dia juga minta dicarikan perempuan tapi short time-an.”
“Sudah kamu hubungin apa belum?” tanya Hermawan kepada Bagus
“Beres, katanya sebentar lagi. Masih dandan.”

Selang beberapa saat telepon gengam Bagus berbunyi. Ia langsung membuka pesan.
“Udah siap katanya, dia minta jemput. Sepeda motornya dipinjam teman. Tukang ojek juga tidak ada.”

Hermawan langsung mengambil kunci sepeda motor, dan pergi menjemput.
“Tidak buru-buru pulangkan?” tanya Bagus
Saya hanya menggelengkan kepala. “Perempuan itu bisa diajak ngobrol apa tidak?”
“Bisa, tapi habis kerja. Orangnya agak pendiam. Dia dulu pacar saya.”
Dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara sepeda motor memecah obrolan kami. Suara itu semakin mendekat. Dari balik pagar terlihat Hermawan dengan seorang perempuan sudah memasuki pekarangan rumah.

Postur tubuhnya tinggi, rambutnya lurus sebahu. Gincunya tidak terlalu tebal, sepertinya baru belajar memakai pemerah bibir. Ia tersenyum sambil memainkan telunjuk kanannya yang ditempel di pipinya, melihat ke arah kami. Penampilannya sama sekali tidak mengesankan sebagai Pekerja Seks Komersial.

Ia langsung menuju ke rumah, membuka pintu dan menutupnya kembali. Pintu itu ia kunci dari dalam.

Sedangkan Hermawan langsung merebahkan diri di samping Bagus, sambil memainkan telepon gengam dan berkata “tidak usah heran, di Songgoriti pelacuran sudah menjadi pemandangan sehari-hari bahkan sudah menjadi sumber nafkah bagi sebagian orang, termasuk saya. Meskipun dilarang pelacuran tetap marak di sini. Karena peraturannya tidak ketat. Selain itu, di sini dilarang menyediakan perempuan tapi kalau bawa sendiri boleh. Kan sama saja bohong.”
****
Memperbincangkan persoalan pelacuran tidak pernah ada kata selesai. Fenomena ini dapat disebut sebagai fenomena gunung es yang hanya tampak kecil pada permukaan sementara telah mengakar demikian kuat di kehidupan masyarakat.

Di Indonesia, Seperti ditulis Terence H Hull, Endang Sulistyaningsih dan Gavin W Jones dalam buku Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya. Mengungkapkan bahwa Pondasi pelacuran modern di Indonesia dibangun pada zaman Kerajaan Mataram. Tradisi penyerahan perempuan sebagai upeti diteruskan dengan perdagangan wanita. Hingga menemukan bentuknya yang mutakhir karena didorong oleh faktor-faktor ekonomi dan kemiskinan.

Dalam sejarah, nilai perempuan sebagai barang dagangan, melekat sejak berdirinya dua istana pecahan Kerajaan Mataram, 1755. Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, yang pengaruhnya bertahan lama di Jawa. Ketika itu, kekuasaan seorang raja tak punya batas.

Mereka menguasai segalanya. Tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahayanya. Di antara harta milik raja adalah selir-selir. Siapa pun, kala itu, berlomba-lomba mendekati kekuasaan dengan berbagai cara. Misalnya para bangsawan. Mereka tak segan menyerahkan putri-putrinya sendiri sebagai tanda kesetiaan. Kerajaan kecil tetangga juga mengirimkan upeti perempuan. Rakyat kelas bawah tidak kalah berpartisipasi. Mereka menyerahkan anak-anaknya dengan harapan keluarganya punya hubungan dengan istana.

Pemasok wanita yang tak punya stok juga berburu gadis sampai ke daerah lain. Sejak masa itu ada kawasan yang dikenal sebagai gudang perempuan cantik dan memikat. Di Jawa Barat daerah itu adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan. Di Jawa Tengah: Pati, Jepara, Grobogan, dan Wonogiri. Lalu Blitar, Malang, Banyuwangi, dan Lamongan untuk Jawa Timur.

Bahkan Kecamatan Gabuswetan, di Indramayu, dapat memenuhi kebutuhan selir untuk Istana Sultan Cirebon. Memang, tradisi itu belum mencapai segi komersialisasi sebagai industri seks dengan sistem germo dan pelacur profesional. Namun tradisi pada zaman feodal itu membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang ini. Yaitu nilai bahwa perempuan adalah komoditas yang diperjualbelikan untuk memenuhi tuntutan nafsu lelaki. Dan ini menjadi cikal bakal pelacuran modern

Nilai-nilai itu makin subur, ketika Belanda membentuk koloni baru. Hadirnya serdadu, pedagang, dan utusan yang dibawa pemerintah kolonial menghidupkan permintaan pelayanan seks--lebih daripada awalnya yang hanya di sekitar pelabuhan.

Aktivitas pelacuran meningkat drastis setelah ada pembenahan hukum agraria, 1870. Yaitu dibukanya perekonomian negara jajahan bagi para penanam modal swasta. Area perkebunan diperluas di Jawa Barat, industri gula tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Sumatera, perkebunan didirikan

Sarana pun dibangun. Misalnya jalan kereta api untuk menghubungkan kota-kota di Jawa: Batavia-Bogor-Cianjur, Bandung-Cilacap, Yogya-Surabaya. Fisik kota-kota ini juga dibenahi, termasuk didirikannya tempat penginapan. Ini yang membuat aktivitas pelacuran menjadi-jadi dan menjelaskan asal mula mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api di setiap kota.

Surabaya, pada masa penjajahan Belanda, tumbuh sebagi kota pelabuhan terkemuka dan pangkalan angkatan laut. Ketika banyak kapal barang dan kapal angkatan laut memasuki pelabuhan, dengan segera kedatangannya disambut perahu-perahu kecil yang mengelilingi. Di perahu kecil itu terdapat para pelacur yang mencari langganan baru. Mereka dibawa dari rumah bordil. Menurut catatan sejarah Kota Surabaya, pada 1864, dari 18 rumah bordil, pelacurnya berjumlah 228 orang.

Di Jawa Timur, pada 1960-an sampai 1970-an tercatat 4.600 Pekerja Seks Komersial, tetapi diperkirakan di luar jumlah itu masih ada tambahan 1.000 orang lagi. Di Jawa Tengah ada 2.404 pelacur di 486 rumah pelacuran. Di Jakarta sendiri jumlahnya 6.500 orang.

Pada 1990, ketika jumlah penghuni kota meroket, sektor primer tak mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak pertambahan itu. Hanya 49% dari penduduk usia kerja yang dapat ditampung. Untuk tenaga kerja wanita, lowongan terbanyak berada di pabrik, di jasa penjualan, hotel dan restoran, dan rumah-rumah tangga. Tetapi karena upah kurang memadai, para perempuan itu melirik industri seks yang memberi peluang penghasilan lima sampai sepuluh kali lipat.

Nah, ketika gaya hidup berubah, mobilitas penduduk mudah, pendapatan masyarakat membaik, industri seks makin rumit jenisnya. Selain pelacur klasik yang beroperasi di jalanan dan rumah-rumah untuk gadis panggilan, dan paling mutakhir ABG yang mencari mangsa di diskotek, bioskop, dan tempat-tempat pariwisata.

****
Dari dalam gubuk terdengar pintu rumah terbuka. Bagus mengintip dari celah-celah dinding papan. Perempuan itu baru saja selesai melayani tamu.
“Mas, minta rokoknya” celetuk perempuan itu.

Bagus menyodorkan bungkus rokok dan koreknya. Dia mengambil sebatang dan langsung dinyalakan. Diisapnya kuat-kuat sampai terlihat kedua pipinya mengempot. Buzz...buzz....asapnya diembuskan dan Uh…Uh… ia terbatuk-batuk. Ia meletakan rokoknya di atas asbak
“Kalau tidak bisa merokok, jangan sok-sokan bisa” teriak Bagus sambil tertawa.
Gadis berambut pendek dengan alis mata tebal itu sekira setahun yang lalu masih tercatat sebagai siswi salah satu Sekolah Menengah Atas di Malang, menginjak kelas tiga ia berhenti. Namanya Yuni

“Saya tidak betah tinggal di rumah, karena orang tua bertengkar terus. Akhirnya saya nekat pergi dari rumah. Saya punya niatan pergi ke Surabaya untuk mencarai pekerjaan. Tapi, saya tidak punya teman maupun saudara di sana, jadi niatan itu saya urungkan” ia diam sejenak

“Tapi niatan saya untuk pergi dari rumah sudah bulat, tanpa sepengetahun orang tua saya pergi ke Songgoriti. Di situ secara tidak sengaja saya berkenalan dengan Bagus. Setelah lama mengobrol akhirnya ia memberikan saya tumpangan untuk menginap di villa yang ia tunggu. Karena pada saat itu hari sudah malam” sambung Yuni

Semula Yuni menolak saat diminta menceritakan awal mulanya terjun ke dunia pelacuran.
“Sudahlah, nggak apa-apa ceritakan saja” Bagus mendesak
“Setelah satu minggu saya tidak pulang ke rumah, saya kehabisan uang, untuk makan saja tidak ada. Sedangkan tempat tidur saja saya masih menumpang di tempatnya Bagus. Akhirnya saya kepikiran untuk menjadi Pekerja Seks Komersial saja. Karena di Songgoriti sendiri banyak yang berprofesi seperti itu, setiap hari pasti ada tamu yang minta di carikan teman kencan”

“Biasanya tamu-tamu yang menyewa villa saya itu sudah bawa pasangan dari luar. Tapi tidak jarang juga tamu-tamu yang minta di carikan di sekitar sini. Malam minggu, saya lupa tanggalnya yang pasti, saat itu masih pertengahan bulan puasa. Saya kedatangan tamu dari luar Jawa Timur, dia minta di carikan cewek yang masih ABG. Saya langsung menghubungi nomor-nomor yang saya simpan di telpon gengam, tapi semuanya masih ada tamu. Akhirnya saya tidak punya pilihan lain selain menawarkan kepada Yuni. Yun kamu mau nggak melayani tamu? Ujar saya. Awalnya dia agak ragu-ragu, setelah berpikir agak lama akhirnya dia menganggukan kepalanya” ungkap Bagus sambil memandang ke arah Yuni

Pengalaman pertamanya menemani seorang tamu ia mendapat bayaran Rp. 750 ribu untuk satu malam. Mulai saat itulah ia menekuni profesi itu. Sebagai pekerja seks komersial yang masih tergolong ABG, ia biasa di-booking dengan tarif antara Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu, short time. Bila menginap, bayarannya bisa mencapai Rp 900 ribu.

Bagi Yuni menggeluti dunia pelacuran memang semata-mata karena butuh uang untuk hidup. Kini hidupnya lebih mapan. Ia sudah memiliki telepon genggam, pakaian yang bermerek dan sudah mampu untuk menyewa sebuah kos dari hasil keringatnya sendiri.

Menurut dia, sudah banyak pria yang mengajaknya kencan di berbagai hotel, kelas melati maupun berbintang. Ia menyebut beberapa hotel seperti yang terletak di Selecta. Soal tarif, bagi pria yang tidak begitu dikenalnya tidak ada kompromi. “Nginap bisa Rp 900 ribu. Kalau hanya satu sampai dua jam saja, Rp. 300 ribu sampai Rp 350 ribu. Tapi hanya satu kali main” ujar yuni polos

Kebanyakan pekerja seks komersial yang ada di Songgoriti berasal dari desa-desa terpencil di wilayah Jawa Timur. Sekalipun dari daerah terpencil wajah-wajah mereka tidak kalah dengan pekerja seks komersial dari kota. Menurut Hermawan sampai saat ini tercatat ada sekitar 70 pekerja seks komersial yang beroprasi di Songgoriti. Kebanyakan masih ABG, bahkan ada yang masih di bawah umur. Entahlah dari mana dia mendapatkan data tersebut.

Menyandang predikat pelacur bagi Yuni memang terkesan berat. Apalagi pelacuran sering mengusik ketenangan banyak orang. Kaum agamawan mencap mereka sebagai manusia kotor yang tidak bermoral. Sehingga mereka dijadikan objek penobatan. Pemerintah maupun tokoh masyarakat menjadikan pelacuran sebagai sesuatu yang meresahkan sehingga perlu ditertibkan. Saat-saat menjelang bulan suci agama para pelacur seringkali menjadi objek pembersihan aparat demi mendukung kekhusukan ibadah.

“Saya sering lihat di televisi para pelacur di tangkapi oleh Satuan polisi PP, dikejar-kejar seperti hewan, dan rumah-rumah yang dijadikan peraktik pelacuran digeledah. Bahkan tidak ketinggalan kalau menginjak bulan puasa banyak orang-orang berjubah putih-putih turun jalan dengan membawa pentungan. Mereka dengan sesuka hati menghancurkan tempat-tempat lokalisasi. Terus kalau begitu caranya dari mana mereka dapat uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, udah nggak ngasih solusi lagi!” seru Yuni kesal.

Atas nama moralitas agama, sebagian kelompok masyarakat sangat gampang menyerang dengan bengis tempat-tempat para perempuan penghibur seperti Yuni menjalankan profesinya. Tentu saja, beragam penggerbekan di beberapa lokalisasi dan tindakan kekerasan sebagian kelompok dengan dalih agama ini terasa menyeramkan di mata Yuni. “Untunglah di Songgoriti aman-aman saja” celetuk Hermawan

Model-model penggerbekan dan penyampaian pesan-pesan moral sebagaimana terjadi saat ini, pada kenyataannya jauh dari maksud sasaran, yaitu menjauhkan masyarakat dari tempat maksiat. Tapi menimbulkan seribu persoalan. Penggerbekan dan semacamnya hanya menimbulkan ketakutan bagi sesama.

Mencari uang dengan menjual tubuh tidak lah nyaman. Tapi keadaanlah yang tidak pernah berpihak. Sehingga menjadi pelacur adalah sebuah pilihan yang paling menyakitkan. Penuh resiko, sebagaian orang mencibirnya, membenci karena alasan agama, tapi sebagian yang lain dengan malu-malu membutuhkannya

Atas alasan agama, para pekerja seks komersial, seperti Yuni harus menyandang gelar sampah masyarakat. Gelar yang amat berat bukan? Apalagi seusia Yuni. Sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci, bersih, dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku pelacuran itu dan berupaya untuk menghilangkannya.

Pandangan bahwa pelacuran merupakan perilaku kotor, tidak bermoral, dan penyakit sosial. Kehadiran pelacuran tidak hanya menjadi sebuah gambaran degradasi moral sejumlah wanita, namun juga mempertontonkan struktur masyarakat yang tidak sempurna adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan. Namun, penanganan pelacuran tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral semata. Pelacuran adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik serta moral dan agama.

Hal itu digambarkan secara lugas oleh Koentjoro melalui buku On The Spot:
Tutur dari Sarang Pelacur. Secara terang-terangan ia menunjukkan betapa pelacuran menjadi fenomena yang demikian terstruktur secara rapi dalam suatu masyarakat. Dalam buku tersebut diungkapkan oleh Koentjoro, banyak aspek yang membuat seorang perempuan menjatuhkan pilihan untuk menjadi seorang pelacur.

Di antaranya adalah faktor ekonomi. Dalam arti lebih luas, faktor yang mengacu pada tumbuhnya nilai materialistik.. Uang memberi arti lebih dari sekadar penghargaan ekonomi. Uang menunjukkan materialisme dan sebenarnya inilah faktor pengaruh yang paling kuat. Pernyataan tersebut menunjukkan betapa pengaruh sistem yang berlaku di masyarakat dapat memaksa seseorang (khususnya perempuan) untuk menjadikan materi sebagai bagian penting dalam kehidupannya. Ia akan meraih status sosial tertinggi pada sistem stratifikasi dalam masyarakat jika memiliki sejumlah besar materi.

Saat ini kita hidup dalam sistem kapitalisme, jaring-jaring sosial yang cenderung berorientasi pada harta dan kesenangan, karena setiap manusia dipandang sebagai mahluk yang memiliki hasrat terus menerus mendapatkan kepuasan dalam jumlah besar. Dan kondisi demikian akan semakin menyuburkan keberadaan dunia pelacuran. Bukankah pelacuran akan menyediakan sarana bagi mereka yang berkelebihan materi untuk meraih kesenangan sepuasnya melalui seksualitas. Tuntutan untuk kepuasan lebih menuntut dunia pelacuran untuk lebih berkembang menciptakan dimensi-dimensi pelayanan baru. Sehingga variasi-variasi pelayanan seks diciptakan.

Selain itu, pelacuran sesungguhnya merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak pernah lepas dari sejarah peradaban manusia. Aktivitas pelacuran dan prostitusi telah belangsung lama, bahkan sejak masa awal peradaban manusia pelacuran sudah dikenal. Pelacuran di masa lampau bahkan tidak selalu dinilai buruk. Bahkan ada pelacuran bersifat suci sebagaimana diceritakan Herodotus, sejarawan Yunani, bahwa setiap perempuan Babilonia sekali dalam masa hidupnya dipaksa pergi ke kuil Ishtar dan menawarkan diri demi bayaran tertentu pada laki-laki yang menginginkannya sebagai bentuk pelayanannya terhadap Dewa. Prostitusi suci sedemikian juga ditemukan tumbuh subur di Mesir Kuno maupun Yunani Kuno.

Sayangnya, kelaziman di suatu tempat, kebenaran di suatu zaman, dan dikatakan normal oleh masyarakat tertentu, bisa menjadi ketidaklaziman ditempat lain, ketidakbenaran di zaman tertentu, dan abnormal bagi masyarakat lain.

Upaya menanggulangi pelacuran hanya dengan pendekatan moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah. Di Songgoriti Yuni bebas melakukan apa saja. Tanpa harus takut dikejar-kejar oleh Satuan polisi PP. Orang-orang yang aktifitasnya dihabiskan dalam masjid pun mempunyai toleransi tinggi terhadapnya.

Sebuah kerukunan dan keharmonisan yang luar biasa bukan? Masing-masing bebas merayakan keyakinan dan kesenangannya. Di dalam masjid kehidupan normal dijalankan tanpa harus terganggu oleh jeritan-jeritan manja dari villa-villa di sekelilingnya.

Begitu juga para penyewa villa, Pekerja Seks Komersial dan pria hidung belang mereka bebas “merayakan abnormalitas”
****
Suara adzan magrib terdengar lantang. Bagus, Hermawan, dan Yuni, menghentikan pembicaraan. Mereka saling memandang sambil tersenyum.

Yuni berdiri seraya merogohkan tangan kanannya ke dalam saku celana. Ia mengeluarkan dua lembar uang kertas lima puluhan.
“Ini bagianmu” ia melemparkan lembaran uang tersebut ke Bagus sambil tersenyum
“Ini bagianmu” kali ini lembaran uang itu ia lempar ke arah Hermawan.
Hari ini, dari pagi hingga sore Yuni sudah melayani tujuh tamu. “kalau badan lagi fit sanggup sampai sepuluh” ia tertawa

Di hari liburan seperti ini, Yuni dapat mengumpulkan uang sebesar dua juta dalam sehari. Sebuah penghasilan yang cukup besar, Hermawan harus menunggu satu bulan untuk mengumpulkan uang sebesar itu.

Wisata Songgoriti sudah menjadi berkah bagi Yuni, Bagus, Hermawan, Rudi, dan para pedagang serta pemilik Villa. Sebuah proses simbiosis mutualisme terjadi di sini yaitu suatu keadaan yang saling menguntungkan.

Dengan ramainya tetamu yang memakai jasa Yuni sebagai pekerja seks komersial, akan menguntungkan Bagus sebagai penghubung, Hermawan sebagai pemilik villa, dan para pedagang di sekitarnya.

Hari mulai gelap. Rintik hujan gerimis mulai membasahi rerumputan di halaman rumah. Yuni sedang menunggu tamunya yang kedelapan ketika saya pulang Bagus dan Hermawan mengantarkan saya sampai ke jalan raya.