Rabu, 10 Desember 2008

“Ke-Tengger-an” Kesadaran Normatif dan ke-Aku-an Agama

Oleh: M. Miftah Wahyudi

Wong Tengger, begitulah masyarakat luar menyebut identitas sekelompok komunitas adat yang bertempat tinggal dan terbagi atas dua wilayah besar; Tengger gunung Bromo dan Tengger gunung Semeru. Letaknya di dataran tinggi mengharuskan mereka setiap saat berselimut sarung layaknya umat Muslim umumnya. Lebih pada potretnya yang dinamis, ada kearifan yang lama mengakar dalam jati diri psikologis, sosial, dan budaya masyarakat setempat sebagai nilai ke-Tengger-an

Walaupun terlihat jauh dari jangkauan kekuasaan tangan manusia, hampir dipastikan, setiap saat dan pada bulan-bulan tertentu Tengger menerima para tamunya untuk bersinggah dan menikmati keramahannya. Wisatawan domestik maupun mancanegara membanjiri dan membuktikan keramahan dan kesejukan panorama Tengger. Kepulan asap belerang kawah Bromo selamanya bak berbicara atas kedigdayaan alam, hamparan laut pasir, semburan abu gunung Semeru dan pucuk-pucuk hijau tanaman penduduk menambahi keceriahan dan keindahan wilayah Tengger.

Suasana alam yang belum bisa dimiliki oleh lekuk geografis daerah manapun. Tidak hanya panorama alamnya, lebih-lebih, hasil konservasi budaya yang dilakukan pemerintah setempat, di mana kekuasaan wilayah Tengger yang terbagi atas beberapa kabupaten; Malang, Lumajang, Pasuruan dan Probolinggo dimanfaatkan sebagai ikon komersialisasi agrobisnis pariwisata. Mensejajarkan Tengger dengan daerah pariwisata seperti Yogyakarta, Solo, Bali, Banyuwangi dan lain sebagainya. Entah ironi kehidupankah, di tengah maraknya transformasi dan reformasi struktural maupun kultural sosial-budaya kemasyarakatan, ataukah kompensasi pasar itu sendiri yang menguntungkan?

Melacak Anggitan Kearifan Tengger.

Sebagai masyarakat adat, Tengger mempunyai kearifan budaya dan ritual kepercayaan yang variatif, mulai dari lingkaran kehidupan; perkawinan, kelahiran dan kematian semisal ritual kekerik dan entas-entas, masyarakat Tengger juga merayakan ritualistik yang komunalistik seperti perayaan unan-unan, pujan karo, pujan kasada dll. Hal ini yang menandai ke-Tengger-an tidak hanya berdomisili, namun kapasitas individu dan kelompok menjalankan tradisi yang diyakini sebagai warisan leluhur, yang memberi mereka pengayoman dan kesejahteraan hidup di lereng pegunungan tersebut.

Wong Tengger menyadari, bahwa pelaksanaan ritualistik yang sudah beratus-ratus tahun diwariskan oleh para leluhur tidak akan menggersangkan tatanan kehidupan mereka. Dari kesadaran melaksanakan ritual inilah wong Tengger membangun identitas kultural mereka sebagai jati diri ke-Tengger-an. Pada posisi yang sama, ritualistik yang dilakukan wong Tengger diyakini sebagai agama leluhur yang terpelihara serta memiliki keaslian trah Jawa. Senada dengan keyakinan agama tersebut, Robert W. Hefner menilai bahwa beragam kultur dan keaslian kepercayaan agama Jawa, seperti kepercayaan agama suku Osing di Banyuwangi, misalnya, teregresi oleh struktur agama yang baru datang, baik secara politis maupun akomodatif.

Namun, dari apa yang ia peroleh di penelitiannya, Tengger masih memiliki keaslian kepercayaan itu. Kesadaran suku Tengger yang mempercayai adat sebagai bagian dari keyakinan beragama, terdapat pelbagai macam tata cara dan tata krama yang harus dipegang dalam pelaksanaan ritual. Tujuan dari pemujaan adalah penghormatan kepada leluhur yang telah memberikan berkah pengayoman hidup, alam yang memberikan tanah kesuburan dan penghidupan, dan terakhir tuhan yang menciptakan segala keadaan dan keanugrahan. Nilai yang terkandung di dalam unsur ritual senyatanya menjadi pedoman kesalehan sosial dan penghayatan atas kelestarian alam.

Tidak jauh beda dengan kepercayaan lainnya, dimensi vertikal-kotemplatif pada realitas metafisik dan horisontal-komunalistik yang menghormati hubungan secipta, sejenis dan sesama. Bagi masyarakat Tengger, nilai kehidupan terkandung seluruhnya dalam ritual mulai dari pernak-pernik prasyarat pelaksanaan seperti makanan, sesajen, instrumen alat musik berupa gamelan dan mantra yang dibacakan Dukun.

Rangkaian itu semua, layaknya penafsiran alur perjalanan titah kehidupan yang mesti mereka amalkan dalam kehidupan sehari-hari, membentuk kesalehan sosial dan membias pada sisi alam. Kelestarian alam merupakan sisi terkaya nan bermakna. Bagi masyarakat Tengger, metamorfosis alam senyatanya menjadi pertanda dan penanda dari pola perilaku yang mereka lakukan setiap hari, bulan dan tahunnya. Berubahnya alam adalah kebalikan dari apa yang telah mereka lakukan. Alam menempati posisi ayat kedua, menghubungkan masyarakat Tengger dengan segala anugrah yang terberi dari sang pencipta.

Di samping elemen di atas, di seluruh kawasan Tengger yang terbagi atas dua wilayah; Tengger Bromo dan Tengger Semeru, masing-masing wilayah didiami dan dipimpin oleh seorang dukun yang mengatur jalannya prosesi upacara adat. Tidak serupa dengan identitas dukun yang berada di luar kawasan Tengger, yang mengiblatkan dukun sebagai tokoh kunci spiritual.

Dukun Tengger lebih pada hal-hal agama dan kepercayaan. Dukun tidak dipilih atas nama rakyat atau komunitas adat, melainkan kewahyuan dari sebuah kitab yang berisi mantra-mantra, pamujaan yang diwariskan secara turun temurun oleh para pendahulunya. Etika seorang dukun Tengger haruslah hapal di luar kepala semua mantra-mantra tersebut. Pergantian dukun biasanya dilakukan bersamaan upacara kasada. Sebagaimana kedudukan Nabi dalam Islam, dukun berperan penting dan bertanggung jawab atas stabilitas aturan perundang-undangan adat. Kekacauan sosial dan ancaman bencana berada di pundak dukun-dukun Tengger.

Tanah Sebagai Representasi Tangan Tuhan.

Semasa agama Hindu sudah masuk di wilayah Nusantara, tanah Tengger sudah disebut sabagai tanah hila-hila, yaitu tanah suci. Representasi tanah suci ini dideskripsikan oleh Nensy sebagai tanah penghapusan kesalahan-kesalahan perilaku manusia, tanah yang dijelaskan adalah segara pasir yang berada disekitar kawah gunung Bromo. Saat melaksanakan upacara kasada pada bulan keduabelas dari perhitungan kalender Tengger, masyarakat suku Tengger berkumpul di segara pasir.

Dengan dipelantarai dukun-dukun sebagai mediator penghubung dunia supranatural, roh-roh leluhur diundang untuk mempersaksian ritual kasada yang sedang mereka laksanakan. Upacara kasada sendiri memiliki beberapa fersi cerita, di antaranya menjelaskan bahwa kasada adalah upacara pengorbanan, didasarkan pada ihwal pengorbanan dewi Mutrim atas janjinya jika mempunyai anak tanpa pelantara pernikahan, anaknya akan dilabuhkan ke dalam kawah gunung Bromo. Maka anaknya yang bernama pangeran Kusuma, anak terakhir dari 25 anaknya, diminta sebagai bukti janji.

Permintaan inipun disetujui oleh pangeran Kusuma, namun, ada beberapa syarat dari kerelaannya untuk dikorbankan, yaitu ketika malam purnama di bulan kasada semua anak turun yang bertempat tinggal di Tengger, harus memberikan upeti berupa hasil bumi sebagai imbal jasa atas misi pengorbanan tersebut. Dan sampai sekarang, upacara kasada ini dilakukan setiap tahunnya sesuai dengan prasyarat yang diminta raden Kusuma. Dari pertalian cerita atau mitos ini, masyarakat Tengger tidak berani untuk melanggar aturan tersebut.

Kejadian kondisional yang berwujud perubahan alam menjadi salah satu bukti pengabdian mereka. Jika alam tidak lagi bersahabat dengan masyarakat Tengger, berarti masyarakat sudah melanggar dan meninggalkan aturan yang sudah ditetapkan. Oleh sebab itu, penghormatan pada tanah yang dipijak dilakukan setiap melaksanakan ritual adat. Alat persembahan bisa berupa tamping (takaran kecil dari daun pisang berisi ketan atau beras dan isi lainnya) diletakkan di pertigaan atau perempatan jalan, ladang dan dapur rumah. Perjalanan cerita atau mitos di atas, selamanya dilakukan sebagai kesadaran. Penandaan-penandaan yang tertera dalam alur cerita, membangun spirit hidup dan pengabdian yang mendalam, karena permitosan tidak ada hentinya dan tiada ide kecuali dalam suatu hal, tutur William Carlos W. (2001;119).

Pada masyarakat Tengger, misalnya, simbolisme yang dibawa dalam ide cerita, hadir sebagai unsur psikologis yang membentuk sekian konflik dalam struktur masyarakat. Dimana aspek konseptual (petanda) dari ide, tidak akan bisa difahami oleh komunitas luar, hanya peragaan luar semata yang bisa dibangun dalam medan interpretatif akademis.

Menurut Ngatrulin salah satu dukun Tengger, ada empat unsur yang diayomi dan dikultuskan masyarakat Tengger. Di antaranya; bopo kuoso sebagai wujud transendensi penciptaan, ibu bumi yang memberi keanugrahan, pedayangan sebagai pengayom dan penjaga kawasan Tengger dan sumber mata air. Keempat unsur ini selamanya diugemi dan diberikan sesaji setiap pelaksanaan upacara adat.

Perambahan Modernisasi di Bumi Tengger.

Akses masyarakat pada tanah bagaikan urat nadi kehidupan masyarakat Tengger. Keterputusan ases tanah berarti memutus mata rantai penghidupan sekaligus kesadaran masyarakat Tengger. Walau letaknya yang dipuncak gunung tidak membatasi perubahan sosial politik kewarganegaraan. Di masa penjajahan Belanda, masyarakat Tengger merasakan susah-payah melawan penjajahan. Terseok-seok melakukan upacara kasada pernah dirasakan.

Secara diam-diam dibawah ancaman kematian akibat agresi tentara Belanda, upacara kasada tetap dilaksanakan. Jedah perang pun pernah terjadi, sebatas bukti negosiasi menghormati kasada. Melompat pada masa orde baru dengan pembangunannya, masyarakat Tengger juga terkena imbasnya. Proyek revolusi hijau (pertanian dan taman nasional) dan eksotikisasi kebudayaan, merambah dikomunitas adat Tengger.

Tanah yang mereka kerjakan dengan seadanya dan berasal dari properti lokal, berubah bentuk dan tata cara pengolahannya. Dari pengolahan yang bersifat tradisional berubah dengan sekian prabot penggenjotan mutu produksi. Pada akhirnya, hasil yang didapat tidak seimbang dengan modal yang dikeluarkan, parahnya, penyakit (hama) tanaman jadi tak terkendali. Kesadaran tentang adat yang ditopang dari hasil bumi, lambat laun berubah menjadi komuditas materialistik semata. Tendensi spiritual mistik yang diyakini masyarakat Tengger bermetamorfosis pada kebutuhan perekonomi an sich. Apalagi ada persyaratan pada upacara kasada, jika hasil bumi tidak menguntungkan mereka dibebaskan untuk tidak melaksanakan, tutur Ngatrulin. Tak hayal, keyakinan agama sebagai keTenggeran teregresi secara berlahan-lahan.

Ke-Tengger-an Berbicara atas Formalisasi Agama.

Untuk merepresi resistensi perubahan (cultural excange) yang dilakukan masyarakat Tengger, pemerintahan Orde Baru (Orba) menggunakan agama sebagai alat politik. Pada tahun sekitar 1970 an proyek formalisasi agama dilancarkan kesegenap penjuru, tidak boleh tidak lima agama formal; Islam, Hindu, Budha, Katolik dan Kristen menjadi identitas absolut kebenaran kepercayaan dan atau agama.

Karakter kerajawian yang masih melekat dalam kesadaran etnis Jawa, yang memusatkan transformasinya di kerajaan, ikut melambari desain perubahan sosial-keagamaan masyarakat pinggir, jelas Mark Woodword (1994), tidak terkecuali Tengger. Secara sederhana, agama formal merupakan center (pusat) yang dipegang pemerintah pusat, sedangkan kepercayaan lokal adalah periphery (pinggir). Oleh sebab itu, jika masyarakat Tengger ingin mendapatkan aksesnya, formalisasi agama ini harus dilakukan dan dipercayai sebagai obsolutisme kebenaran agama.

Begitulah hegemonik kultural yang dijadikan represi kekuatan lokal. Mengapa formalisasi agama bisa menjadi bukti represi atas gejolak resistensi masyarakat lokal? Karena keberadaan masyarakat lokal yang menjaga nilai lokalitas mereka (baca, agama lokal), menjadi batu sandungan kepentingan dan kebijakan yang diterapkan pemerintah pusat.

Kemudahannya lagi, setelah masyarakat meninggalkan aturan lokal mereka dan mengikuti aturan dari struktur pusat (center) yang dicangkokkan lewat agama formal. Politik steriilisasi orde baru ini, hampir semua komunitas adat merasakan. Tidak tinggal diam dengan kontestasi politik orde baru, masyarakat Tengger khususnya Tengger wilayah Ngadas Malang membangunan metanarasi pemaknaan.

Upacara karo yang diyakini pertarungan antara Setco dan Setuhu, dimana keduanya merupakan perwakilan Ajisaka dan Nabi Muhammad, dalam tragedi berdarah perebutan keris yang dipercayakan para mereka berdua. Singkat cerita, stelling historis menjelaskan bahwa Ajisaka ketika berguru ke Timur Tengah pada Nabi Muhammad meninggalkan sebuah keris yang nantinya diambil langsung tanpa perantara siapa pun.

Di ujung waktu, Ajisaka tidak kunjung datang entah lupa atau sibuk dengan kepentingan perang yang dilakukannya di tanah Jawa. Maka, Nabi Muhammad mengutus Setuhu dengan tugas memberikan keris tersebut langsung di tangann Ajisaka. Begitu pula sebaliknya, Ajisaka mengutus Setco mengambilnya dari tangan Nabi Muhammad dengan memberikan ciri-ciri khas keris tersebut.

Di tengah cerita, kedua utusan ini bertemu dan terjadilah perkelahian berujung kematian keduanya demi mempertahankan tugas yang diberikan. Lama ditunggu sang utusan tidak juga kembali, keduanya (Nabi Muhammad dan Ajisaka) pun menyadari kekeliruan masing-masing. Pergilah mereka berdua mencari keberadaan utusan-utusan mereka. Di tengah perjalanan, bertemulah mereka tepat di tempat kejadian perkelahian tersebut.

Melihat kedua utusan yang mati terkapar menjadi mayat, keduanya lantas sadar atas keteledoran dan kesalahan yang baru saja mereka lakukan bersama. Dengan bingung, mereka berdua lalu bersandar disebuah pohon untuk meratapi penyesalan. Di saat itulah, jatuh dua pelepah daun di hadapan mereka. Daun yang di bawa Nabi Muhammad bertuliskan abjad Arab, sedangkan yang diterima Ajisaka berabjad Jawa. Dari peristiwa itu dibuatlah kesepakatan, bahwa Nabi Muhammad dengan abjad Arab menyebarkan agamanya dan bertempat di Langgar (baca, Masjid), adapun Ajisaka yang memegang abjad Jawa menyebarkan agama dengan abjad itu pula dan bertempat di Sanggar.

Kebenaran cerita di atas tidaklah penting, menjadi penting apabila spirit cerita dan nuasa kesadaran nilai mengkontruksi kesadaran dilokalitas Tengger Ngadas tersebut. Metanarasi yang dibangun masyarakat Tengger Ngadas ini pun mereposisi ulang posisi center dan peripheri yang ditunjukkan Orba. Ide cerita mendudukkan porsi agama atau kepercayaan pada posisi seimbang. Tidak ada kebenaran melainkan keutuhan dari nilai lokal-lokal yang berbeda. Dengan demikian, hegemonik penguasa ternegasikan dalam posisi timbal balik pewacanaan nilai lokalitas atas makna. Setidaknya, begitulah mereka yang masih dalam ke-Tengger-an sebagai wong Tengger.

Tidak ada komentar: